Aug 19, 2015

Emang Saya Ibumu?

August 19, 2015 6 Comments
Begitu menginjakkan kaki di Ninoy Aquino International Airport saya merasa aneh dengan orang-orang Filipina yang memanggil saya. Serasa telinga ini diutak utek pakai sapu ijuk. Sampai-sampai males ngobrol dengan orang selain memang ga bisa bahasa tagalog juga sih (bahasa Inggris juga kalee). Mungkin ini yang dinamakan gegar budaya atau bahasa sononya disebut culture shock. Atau mungkin karena saya termasuk golongan menolak tua.

Di mulai dari ibu-ibu petugas x-ray di pintu keluar. "Please, put your bag here mam". Apa maksudnya panggil-panggil mam? Mam tuh mommy apa gimana ya? Emang saya udah emak-emak banget gitu...? Sak ser mu lah! Tanpa memperpanjang masalah saya letakkan ransel dan daypack di conveyor belt kecil yang tersambung dengan box x-ray di depannya. Kemudian saya gendong lagi setelah badan saya di cek pakai metal detektor dan tas-tas saya dinyatakan aman, so pasti aman karena hanya berisi baju dan mie instant doank.

Karena belum punya uang peso saya bermaksud mencari money changer yang menurut penjelasan di google, rate money changer di airport lebih bagus dari pada di kota Manila. Saya nanya ke pusat informasi sekalian meminta peta.
"Hello..." sapa saya pada salah satu petugas.
"Hello, may I help you mam?"
Aih manggil mam lagi, emang saya istri bapak...

Setelah diberi selembar peta besar dilipat-lipat saya melangkahkan kaki menuju ke money changer yang berderet setelah pintu keluar. Saya pilih salah satu diantaranya yang ratenya tertinggi, lumayan beda-beda 20 peso. Saya sodorkan selembar USD ke petugasnya melalui lobang kecil yang hanya cukup untuk meletakkan uang. Kemudian saya diberi beberapa lembar uang peso dengan berbagai pecahan. Sambil melempar senyum manisnya petugas itu mengucapkan terima kasih. "Thank you mam" Haaishh bilang mam lagi... kebalik kali harusnya saya yang panggil tante mam...

Mamam lagi di Ninoy Aquino International Airport

Akses dari Ninoy Aquino Airport menuju ke kota Manila hanya bisa menggunakan taksi dan beberapa bus tapi saya tidak tau rutenya. Belum tersedia MRT seperti di negara-negara maju, masih 11 12 dengan Soekarno Hatta. Taksi katanya tidak begitu mahal karena jarak ke kota tidak terlalu jauh, hanya saja harus berhati-hati karena banyak taksi gelap. Banyak sekali cerita nyeseg tentang taksi di Manila. Saya mencoba cari jalan lain agar tidak sampai naik taksi. Saya keluar dari area airport untuk mencari jeepney (semacam angkot kalau di Jakarta). Menurut petunjuk dari google setelah pintu keluar ke kiri jalan lurus sampai ke ujung parkiran. Ada beberapa orang yang berlalu lalang ke arah itu saya coba mengikutinya. Di tengah jalan beberapa kali saya dihadang oleh sopir taksi. "Taksi mam... Taksi mam..." Eh busyet dah... Ga bakalan naik, udah mah ga bisa dipercaya panggil-panggil mam lagi... Ogahlah pap mamam mo jalan kaki ajah...

Benar saja sampai di ujung parkiran tampak jeepney yang mangkal bertuliskan Nichol - EDSA MRT - Baclaran. Sebelum naik angkutan unik itu saya pastikan dulu ke sopirnya apakah benar lewat EDSA MRT? Karena saya akan turun disana kemudian lanjut naik MRT ke daerah Makati, tempat saya akan menginap. Di dalam jeepney baru ada 3 orang. Sebelumnya saya browsing cara membayar ongkos jeepney yaitu secara estafet dengan penumpang sebelah, karena posisi saya di belakang sopir maka harus siap menjadi pembantu pak sopir. Yaitu menerima uang dari penumpang diberikan ke pak sopir dan kembalian dari pak sopir diberikan ke penumpang. Kalau mau nguntit uangnya langsung disakuin aja hehehe... Yang masih bingung kapan bayarnya? Setelah duduk di dalam jeepney saya diem aja sambil memperhatikan stiker tulisan yang banyak ditempel di dinding dalam bahasa tagalog, salah satunya mungkin artinya begini "Tuhan tahu jika anda tidak bayar".

Tak berapa lama kemudian ada penumpang naik dan langsung memberikan ongkosnya "Bayad Po" saya bantu memberikannya, hampir sama seperti di Indonesia "Bayar Pak". Nah baru tahu ternyata begitu duduk langsung bayar. Saya pun ikut memberikan uang kertas 20 peso, biarpun tau ongkosnya hanya 8 peso tapi takut kurang biar saja dikembalikan berapa. Dan ternyata dikembalikan 12 peso. Baru tau juga ternyata jauh dekat ongkosnya sama 8 peso atau sekitar 2500 rupiah. Murah banget, lebih mahal ongkos angkot di Indonesia.

Ini dia si mungil Jeepney

Semakin lama jeepney penuh dan mulai bergerak menjauhi airport. Banyak petugas airport yang hendak pulang kerja, kelihatan dari label di seragamnya. Mereka semua ngobrol dengan bahasa tagalog, saya sama sekali ga ngerti. Mbak-mbak di sebelah sering terdengar seperti mengatakan "EDSA EDSA" saya pikir mungkin akan turun di EDSA MRT, lumayan bisa diikuti karena saya tidak tau dimana letak maupun ciri-ciri EDSA MRT. Demi keamanan saya mengurangi bertanya ke kanan kiri agar tidak ketahuan bahwa saya orang asing. Secara fisik dan penampilan orang Filipina dan Indonesia sama banget, 10 11 lah. Nah akan kelihatan dari percakapannya.

Jalanan di kota Manila sama kacrutnya seperti di Jakarta. Jakarta sepertinya lebih mending. Motor, mobil, jeepney dan bus umpel-umpelan jadi satu dan menimbulkan kemacetan. Yang sama lagi, ada pengamen anak kecil berbaju kucel sambil nyodorin amplop, ada pedagang asongan trus sopir jeepney beli rokok 2 batang, ini sama banget kya sopir angkot di Indonesia. Ga terasa suasana di luar negeri rasanya seperti di daerah Pasar Senen atau Tanah Abang. Pengen sih mengabadikan setiap moment, tapi takut ngeluarin kamera. Kalung kamera di daerah kya gitu sepertinya cari apes. Denger-denger di Filipina kalau jeprat jepret bisa tiba-tiba dipepet orang trus dimintai duit. Hiyyy... Emang iya, entahlah... Demi keamanan ya ga usah neko-neko.

Masih di jalan kecil diantara kemacetan dan belum tampak tanda-tanda seperti stasiun. Tiba-tiba mbak di sebelah bilang "Para" artinya mau turun. Lah berarti ga turun di stasiun EDSA donk, waduh tiwas tak enteni... Trus piye?

Jeepney melanjutkan perjalanan semakin memasuki daerah perkotaan. Penumpang naik turun silih berganti. Saya jadi deg-degan takut terlewat. Saya mengintip keluar ke samping kanan dan kiri mencari stasiun yang ada malah semakin bingung. Lalu saya beranikan diri bertanya ke mas penumpang di sebelah.
"Bro EDSA MRT udah lewat belum?"
"Not yet, if arrive there I tell you mam"
"Thank you" mam mem mam mem emang gue emak lo...

Ternyata mas-mas itu turun di EDSA MRT juga sehingga saya diantar sampai di depan pintu masuk. Daerah ini bernama metro point mall yang mana di dalamnya ada 2 stasiun yaitu EDSA untuk LRT dan Taft Avenue untuk MRT. Karena saya akan ke daerah Makati sehingga mengambil jalur MRT. Stasiunnya bener-bener mirip dengan Stasiun Pasar Senen hanya saja antrinya lebih rapi ga pakai dorong-dorongan. Di pintu masuk dijagain banyak security, beberapa ada yang membawa laras panjang. Serem banget sih. Eh security apa polisi ya? Mbuh lah yang pasti pakai seragam lengkap. Sebelum masuk tasnya harus diperiksa dulu diobok-obok pakai kayu satu per satu jadi menimbulkan antrian yang panjang. Nah tas ransel saya juga harus dibuka tuh, tapi securitynya baik-baik dibantuin semuanya biar ga ngelamain antrian. 

Sebelum membeli tiket saya tanya dulu ke salah satu petugas di loket sambil memperlihatkan peta tempat saya akan menginap. Petanya ga detail banget hanya berupa garis-garis doank, kanan kirinya apa juga kurang jelas. Tapi diperkirakan berada di antara Stasiun Buendia dan Guadalupe. Feeling ibu itu sih lebih dekat dengan Stasiun Guadalupe sehingga saya disarankan turun disana. Dan lagi-lagi mereka semua memanggil saya mam. "Take care mam". Hiks Qamfret..!!!

Setelah mendapatkan tiket saya ikut antri masuk ke kereta. Disini penumpang yang akan masuk ke kereta di tahan dulu di tangga pakai tali pembatas, menunggu penumpang yang turun dari kereta sampai habis. Jika kereta bener-bener kosong baru deh tali di lepas. Setiap gerbong di jaga 1-3 security yang akan berdiri di dekat pintu. Jadi penumpang merasa aman. Kalau ini sih beda dengan di Stasiun Pasar Senen. Di dalam kereta juga ada pengumuman setiap akan berhenti di stasiun berikutnya walaupun dengan bahasa tagalog.

Sampai di Stasiun Guadalupe saya turun dan tanya ke beberapa orang sambil menunjukkan peta dimana kira-kira letak penginapan saya tapi semua menjawab tidak tau. Saya terpikir pindah haluan mencari penginapan lain. Saya coba masuk ke hotel yang dekat dengan Stasiun Guadalupe, tulisan di depannya sih murah 250 peso tapi ternyata harga segitu hanya untuk 2 jam saja. Tarif per malamnya 1600 peso. Jiaah... Ga jadi. Di Our Awesome Hostel Manila 1500 peso untuk 3 malam. Hostel itu (hostel ya bukan hotel) terletak di ABBA Building jalan Kelayaan Avenue, ke Bonifacio Global City hanya 8 menit jalan kaki. Itu saja petunjuk yang di jelaskan di websitenya. Selebihnya terserah anda... Recommended lah tempatnya nyaman, bersih, lumayan strategis dan murah.

Saya melangkahkan kaki mencari Jalan Kelayaan Avenue mengikuti perasaan kira-kira. Melihat peta buta itu sih sepertinya ga terlalu jauh. Belok ke jalan kecil lewat pasar yang jualan sayur dan buah. Persis kya pasar di Indonesia. Lalu lewat ruko, rumah-rumah penduduk dan akhirnya ketemu jalan besar lagi. Disana saya coba tanya ke orang yang lewat.

"Pak Jalan Kelayaan Avenue dimana ya?"
"Disini.."
"Ouw, benarkah... (mak plong). Kalau ABBA Building dimana pak?"
"Disebelah sana, tapi jauh"

Seperti saya lagi di Kebon Jeruk trus nanya Taman Anggrek, nah kalau jalan kaki kan gempor. Saya dipanggilkan abang three cycle (becak motor) oleh bapak yang baik hati itu agar diantarkan ke ABBA Building dengan ongkos 15 peso sekitar Rp 4500. Setelah berterima kasih, saya naik ke angkutan mungil dan lucu yang sebenarnya hanya motor di tambahin tempat duduk disampingnya. Ga ada 10 menit becak motor berhenti di depan sebuah gedung.

"This is ABBA Building mam". 

Ternyata tulisannya kecil doank di terasnya. Kalau ga jeli mah bakal kelewat apalagi yang masih baru kya saya sampai jungkir sepertinya ga bakal ketemu. Begitu masuk ke lobby ga akan ketemu dengan resepsionis tapi hanya ada security. Selain hostel disana ada beberapa kantor yang salah satunya adalah refil air minum. Sempat bingung ini hostel apa pabrik air minum ya? Ternyata resepsionis hostelnya berada di penthouse di lantai 10 dan kamar-kamarnya kalau ga salah dari lantai 7 sampai 9 hehe kebalik ya jadi kalau mau cek in harus ke lantai paling atas...

Stafnya ramah-ramah banget parasnya seperti orang Indonesia semua. Awalnya saya ditanya pakai bahasa tagalog, pas kelihatan cuma bengong aja baru deh ditanya "Where are you from?" Hahaha dari tadi atuh mbak...

Setelah mengisi data dan membereskan administrasi saya diantar ke kamar oleh salah satu stafnya sambil ngoceh sepanjang jalan, "Okey follow me mam... Why do you come here mam? Are you alone mam? Okey mam this is your room and you can choose one bed whatever you like mam... 

Haiiissshhh... si cempreng ini, emang saya ibumu?? Masih ada 3 tempat tidur yang kosong dan saya memilih di pojok. Di sebelah ada mbak-mbak dari Vietnam, China dan Filipina (Mindanao).

Setelah terkonek dengan wifi saya browsing-browsing kenapa sih di Filipina panggilannya pakai mam? Rasanya ga rela masak saya diemak-emakkan. Rupanya maksudnya tuh "Ma'am" yaitu singkatan dari "Madam" jadi bukan "Mommy" yang selama ini saya kira. Maaf deh kalo gitu hahaha.... Tapi gara-gara itu saya jadi akrab dengan temen-temen sekamar dan berujung saling berbagi makanan.

Bagaimana cerita selanjutnya, ngapain aja saya selama di Manila nanti ya kalau ga males diterusin lagi...

Saya dan Mae asli Filipina, paling enak pagi dan sore nongkrong di roof top ketemu dengan penghuni hostel yang lain


Persis kya orang Indonesia kan? Saya juga sering dikira asli Filipina sering diajak ngomong pakai bahasa tagalog.

Dari atas penginapan, tampak kemacetan di beberapa ruas jalan di Manila