Nov 30, 2014

Mengenang Teman-teman Kost

November 30, 2014 2 Comments
Sejak usia 15 tahun saya selalu tinggal di kost-kost’an. Sampai saat ini pernah 7 kali pindah kost, dengan beberapa alasan yang mengharuskan pindah yaitu lulus sekolah, lulus kuliah, pindah kerja, pindah kost yang lebih nyaman, pengen sekost dengan teman akrab dan sebagainya.

Beragam kisah suka dan duka saya lewati bersama teman-teman sekost. Sedih kehilangan dikala salah satu teman kost kami harus pindah, senang dikala teman kost baru balik dari rumah dan membawa banyak makanan. Dimanapun kostnya sayalah yang paling jarang pulang karena rumah orang tua saya yang nun jauh disana. Nyelip di antara gunung yang susah sinyal. Tapi setidaknya masih tergambar di peta Indonesia.

Sehari-hari berkumpul dengan mereka di satu atap akhirnya jadi saling memaklumi kebiasaan masing-masing. Kadang lucu, sedih bahkan menyebalkan, yang pasti semua menjadi kenangan indah yang susah dilupakan. Dan inilah kebiasaan beberapa teman-teman yang pernah sekost dengan saya.
  • Teh Titin, kakak senior waktu kuliah yang kebetulan sekamar dengan saya di rumah Ibu Cas. Hampir setiap malam ngelindur ngomong kesana kemari kadang sampai tertawa terpingkal-pingkal dalam keadaan tidur. Sesekali saya isengin coba diajak ngobrol dan selalu ngejawab walaupun jawabannya ngaco.
  • Dewi, teman tetangga kamar masih di rumah Ibu Cas suka sekali pergi keluar kadang sampai kena tegur oleh bapak kost karena pulang kemalaman. Kalau sudah terkunci lompat pagar dan ketok-ketok jendela kamar saya minta dibukakan pintu. Kadang-kadang pulang terlihat cemberut brak bruk nabrak pintu segala dibanting berarti habis berantem sama pacarnya.
  • Onta (nama panggilan untuk bercanda) sekamar dengan Dewi, jarang sekali keluar kost paling senang diam di kamar atau nonton tv di ruang tamu bareng ibu kost. Kalau diajak keluar sering menolak dengan alasan mau nyuci. Kalau lagi ngumpul ngomongnya paling kenceng sering kedengeran sampai kost’an sebelah.
  • Yunita (nama disamarkan) hampir setiap hari ga pernah senyum ngomongnya selalu ketus apalagi kalau barang-barangnya dipinjem bisa-bisa ga negur selama seminggu. Saya pernah sekamar dengannya beneran ga betah dan akhirnya pindah kost. Hiiy..serem..
  • Mbak Rosma, bekerja sebagai sekertaris di perusahaan terkenal di Jakarta. Penampilannya kya selebritis. Wangi sepanjang hari. Dari ujung rambut sampai ujung kaki kinclong terawat. Kalau pergi ke indomart bareng saya terlihat seperti majikan dan pembantunya. Saya sering diajari cara berpenampilan dan bersikap agar menjadi wanita seutuhnya. Maklum beliau pernah bekerja di sekolah kepribadian John Rob*rt P*wer. Jadi penampilan sehari-harinya ya seperti putri gitu deh.
  • Wulan, paling suka tidur pakai baju seksi kalau sudah lelap kakinya kemana bajunya kemana. Kamarnya berada paling pinggir dekat dengan kamar mandi. Paling cuek jarang menutup pintu dan jendela jadi yang akan ke kamar mandi terpaksa harus melihatnya seperti melihat bule berjemur di pantai. Pagi hari segala alarmnya bunyi dari jam beker, handphone dua-duanya dan sound system yang dipasang timer. Mending kalau suaranya pelan, yang ada seperti lagi hajatan sampai para tetangga sudah bangun kemana-mana dia masih enak aja tidur. Kadang kalau lagi pengen tenang sebelum tidur dipesenin dulu "ga usah pasang alarm Lan besok gw bangunin aja".
  • Munaroh (nama disamarkan), kalau lagi baik baiiik sekali tapi kalau lagi cemberut sangat menyebalkan. Pernah suatu hari dia pulang kerja tiba-tiba cemberut melihat saya lagi asyik ngobrol ketawa-ketawa dengan teman sekost. Lalu pergi begitu aja masuk ke kamarnya sambil banting pintu. Lah apa maksudnya? Kalau mau ikut ngobrol ya tinggal nimbrung aja kita bercandaan biasa ga ngomongin dia. Mungkin dia lelah atau lagi dapet.
  • Shinta teman kost di rumah Pak Tamin. Di kamarnya harus ada musik. Kalau lagi ngobrol dan ketemu dengan kata-kata yang seperti syair lagu pasti langsung didendangkan seperti Bang Syaiful Jamil. Rajin bikin teh tiap pagi dan sore. Rajin beres-beres, nyapu dan ngepel. Saya paling sering diomelin karena sembarangan naro sesuatu. Tiap pulang ke rumah rajin membawakan masakan ibunya, ikan sepat asin dimasak pakai sambel ijo. Atau sebelum pulang biasanya tanya dulu “Dek Ningnung, besok mau dibawain apa?”.
  • Teh Risma teman kost di rumah Pak Tamin. Wanita sholeha, keibuan dan berkerudung panjang. Saya dan Shinta memanggilnya teteh kita (kakak perempuan kita dalam bahasa sunda). Rajin memasak, rajin sholat, rajin ngaji dan paling setia menemani saya di rumah sakit ketika saya diopname. Tiap pulang suka membawa ayam bekakak yang enak banget dan dimakan pakai sayuran yang saya benci yaitu terong mentah.
  • Mitha, paling betah tiduran di kamar kadang sampai seharian ga keluar-keluar kecuali pipis. Kalau lagi galau berantem sama pacarnya biasanya suka masak yang mana masakannya sangat bervariasi ga seperti kita-kita yang bisanya hanya bikin sop. Ada es pisang ijo, es pacar cina, cumi saus tiram, sambel udang dan masih banyak lagi. Jadi galaunya mitha adalah berkah buat temen kostnya.
  • Yuyun, hampir sama seperti Wulan kalau tidur paling susah dibangunkan. Bunyi jam beker mungkin terdengar seperti nyanyian tidur sehingga tidurnya semakin pulas. Sampai suara jam beker makin kendor kehabisan baterai dia belum juga bangun. Dibangunkan pun masih tidur lagi, trus bangun tinggal bilang “kok aku ngga dibangunin…” lahh…..
  • Fitri, kamarnya setipe dengan Yuyun dimana-mana banyak barang. Ketawanya kenceng, lucu dan susah berhenti hohohoho..hohohoho... Kadang kita ketawa bukan karena lucunya hal yang kita bahas tapi ngetawain ketawanya dia.
  • Siti, orangnya lucu suka ngomong ala korea-koreaan bareng saya tentang hal yang tidak nyambung tapi disambung-sambungin maksa. Suka bersandiwara dengan berpura-pura nangis. Kentutnya gede kedengeran sampai di luar kamar. Kalau lagi asyik ngobrol tiba-tiba teriak dengan suara cempreng dan bikin kaget orang "HEII..SIA KAMANA!!!" neriakin kucing.
Seiring berjalannya waktu kami harus berpisah dan menjalani hidup masing-masing. Bagaimanapun, saya ingin mengucapkan terimakasih dan tidak akan melupakan kebersamaan kita karena kalian semua pernah menjadi bagian dari hidup saya. Tapi Teh Titin dan Mbak Rosma sejak berpisah sampai sekarang ga tau dimana rimbanya. Semoga beliau-beliau suatu saat membaca tulisan ini. Miss you all.

Nov 27, 2014

Kenangan Bersama Bapak dan Ibu Guru Fisika

November 27, 2014 0 Comments
Jika kembali ke masa-masa sekolah saya selalu ingat kenangan indah bersama guru fisika. Fisika adalah pelajaran yang kurang saya sukai selain matematika, kimia, sejarah, geografi, sosiologi, bahasa lndonesia, bahasa lnggris, ekonomi, akuntansi lah semua donk. Trus sukanya apa? Satu-satunya pelajaran yang membuat saya bahagia adalah kesenian seperti menyanyi, membuat prakarya dan menggambar. Bukan karena saya berbakat dalam bidang itu semata-mata karena suasananya happy tidak menegangkan. Karena tegang sama dengan ngantuk dan hilang konsentrasi.

Dulu saya termasuk murid yang penurut, pendiam dan pemalu. Saya tidak pernah membolos atau kabur dari sekolah kecuali sakit. Saking pendiam dan pemalunya sering kali hanya menunduk di kelas, jarang menjawab pertanyaan dari bapak dan ibu guru (itu namanya gebleggg).

Suatu hari guru fisika yang ganteng yang terkenal dengan seram dan galak pertama kalinya mengadakan ulangan harian mendadak. Buat yang cara belajarnya sks (sistem kebut sejam) seperti saya pengumuman itu bak sambaran petir di siang bolong. Diumumkan seminggu pun belum tentu bisa apalagi yang model dadakan begini.

Semua alat tulis harus dimasukkan ke dalam laci hanya bolpoint yang boleh ditinggalkan di atas meja. Kemudian dibagikan 2 kertas kosong yang 1 untuk lembar jawaban dan 1 lagi untuk coret-coretan. Setelah itu didiktekan 8 soal cerita seingat saya mengenai hukum gerak dan gaya. O’em’jiii… Dari 8 soal itu tidak ada satupun yang saya pahami. Akhirnya hanya diam terpaku memandang soal-soal yang tak berdosa itu. 

Agar kelihatan bekerja saya bergaya sok corat coret sambil berusaha menghitung barang kali ketemu jawabannya. Ternyata bener bener buntu sebuntu-buntunya benang ruwet. Sesekali melirik ke teman-teman yang terlihat sangat sibuk bahkan sampai ada yang minta kertas lagi. Entah apa yang ditulis, saya setengah halaman rasanya tidak penuh penuh. Sampai waktunya habis tidak ada satu soalpun yang bisa saya kerjakan.

Rasanya malu sekali mengumpulkan lembar jawaban yang hanya berisi kata-kata diketahui, ditanya dan dijawab. Khusus point yang dijawab tidak ada penyelesaiannya. Saya berniat tidak akan mengumpulkan lembar jawaban itu karena dikumpulkan pun nilainya pasti nol. Sama-sama nol mending tidak usah sekalian.

Diakhir waktu saya berdiri membantu bapak. “Hayo waktunya habis, kumpulkan!” teriak saya dengan pedenya meminta paksa lembar jawaban teman-teman. Karena masih ada yang belum bergerak walaupun waktunya habis. Setelah terkumpul, saya letakkan punya saya di paling bawah lalu diremes-remes menjadi bola kertas dan dimasukkan ke tempat sampah. Ohh.. Amaan. Sempat ketauan oleh salah satu teman “Kok dibuang?” “Itu kertas coretan” untung tidak dibahasnya lagi.

Setelah itu saya rajin belajar bersiap-siap jika suatu saat bapak memanggil untuk ulangan susulan. Tapi sampai minggu-minggu selanjutnya bapak tidak juga memanggil saya. Malah mengumumkan nilai hasil ulangan dan anehnya nilai saya juga ada. Kaget ketawa girang walaupun hanya nilai rata-rata. Mungkin bapak berpikir beliau yang menghilangkan lembar jawaban saya entah keselip dimana, karena saya terlihat mengikuti ulangan ada tanda tangan di kertas absen. Atau mungkin melihat dari tugas harian yang tidak begitu jelek sehingga beliau memberi nilai berdasarkan itu. Apapun alasannya yang penting lega terbebas dari ulangan fisika. Yeeiiiyyy… Merdeka!!! Makasih ya pak :)

Saya tidak pernah menceritakan kisah ini kepada siapapun sampai lulus sekolah. Suatu hari cerita kepada ibu saya yang juga berprofesi sebagai guru. Beliau bilang harus lebih hati-hati. Harus dihitung lagi dicocokkan dengan jumlah murid, kalau ada yang bandel seperti saya langsung ketauan hehehee….

Satu lagi kenangan indah dengan guru fisika. Kali ini dengan seorang ibu guru yang lumayan sabar dan tegas. Karena mengajar dengan suara lemah lembut sehingga saya dan teman-teman sering kali mengantuk pada pelajaran beliau.

Suatu hari saya berniat menghilangkan kantuk. Berbagai upaya seperti tabok-tabokkan, sentil-sentilan dengan teman sebangku tidak membuahkan hasil. Lalu iseng menggambar ibu pada sobekan kertas. Sedang duduk melipat tangan di meja, tangan kanannya menopang dagu, matanya tertutup, rambutnya keriting bulet seperti pohon beringin. Sekilas mirip sekali dengan gaya khas beliau saat mengawasi ulangan yang kelihatannya seperti tidur padahal gerak sedikit bisa ketauan dan berujung mengurangi nilai.

Saya tunjukkan gambar itu ke teman sebangku. “Sssstt... Lihat ini siapa?” Seketika teman saya ngakak tapi berusaha menutupinya dengan berpura-pura membenarkan tali sepatu. Lalu ditunjukkan lagi ke teman di sebelahnya, ke belakang, ke samping dan seterusnya sampai hampir seluruh kelas. Semua terlihat menahan tawa dan akhirnya rasa kantuk pun hilang sampai pelajaran selesai.

Esok harinya, teman yang menyimpan gambar itu menunjukkan pada ibu guru biologi (sohibnya ibu guru fisika). Beliau bisa menebak itu gambar siapa. Sambil tertawa menanyakan siapa yang menggambar? Teman saya menjelaskan sayalah pelakunya.

Beberapa hari kemudian pada pelajaran fisika, seperti biasa diwaktu-waktu terakhir ibu guru menuliskan sebuah soal di papan tulis untuk PR yang akan kita bahas pada pelajaran selanjutnya. Tiba-tiba ibu memanggil saya maju ke depan dan "Coba kerjakan!". Gubrraaakkk... Seketika keringat dingin mengalir di sekujur tubuh. Saya tetap maju walaupun akhirnya hanya diam mematung di depan papan tulis. Sampai bel pulang berbunyi belum bisa memecahkan soal itu. Saya melirik ke ibu, rupanya ibu juga melihat ke saya.

“Kenapa? Menyerah?”
“Iya bu” saya mengangguk.
“Coba kesini”
Saya dipeluk mesra dan dielus kepala saya...
“Ibu doakan semoga kamu nanti menjadi pelukis… Pelukis yang terkenal” 

Hahahahahahaaaaa… Suasana kelas yang tadinya hening seketika berubah seperti pasar. Rupanya ibu sedang menghukum saya dan memang soal itu dimaksudkan untuk PR.

Sejak itu ibu jadi hafal muka. Saya sering diperhatikan dan ditunjuk untuk mengerjakan soal. Apes, hilanglah kebebasan saya tidur-tiduran di kelas.

Nov 20, 2014

Latihan Solo Travelling - Nyasar is Beautiful

November 20, 2014 1 Comments
Gara-gara keracunan artikel di majalah tentang solo travelling “Jangan takut jalan-jalan sendiri pasti akan menemukan teman baru di perjalanan". Saya jadi penasaran pengen uji nyali, tapi bukan ke Paris seperti di majalah itu hanya ke negara sebelah. Karena pernah ke Singapura maka saya pilih ke sebelahnya lagi yang masih serumpun dengan Indonesia yaitu ke Kuala Lumpur. Sekalian pengen tau seperti apa kotanya mak cik penyanyi idola jaman kuliah dulu, ponakan bilang namanya Iti Nungijah. Niatnya harus bisa foto di depan Menara Petronas. Menurut kisah orang, spot yang menarik di sana hanya itu. Dari situ saya mulai berburu tiket promo dan dapat sedikit di bawah harga standar.

Karena first time solo travelling saya terserang deg-deg’an hebat apalagi menjelang hari H. Beberapa itinerary hasil nyontek di google disiapkan semua hanya dibuat lebih sederhana tanpa mengikuti yang shopping-shopping. Yang penting tau penginapan murah, strategis, dekat dengan monorail atau LRT. Banyak yang bilang di daerah Bukit Bintang lalu saya catat dua nama hotel di Jalan Alor.

Ada dua airport di KL yaitu KLIA dan LCCT (dulu belum ada KLIA 2). Pesawat saya akan mendarat di KLIA. Dari KLIA naik bus ke KL Sentral dengan ongkos 10 RM, lebih murah dibanding kereta. Ada beberapa bus diantaranya yang saya ingat Airport Coach dan Aerobus. Dari KL Sentral lanjut naik monorail ke Stesen Bukit Bintang lalu jalan kaki ke hotel sambil nanya-nanya. Alternatif terakhir kalau sudah mentok ya naik taksi. Tapi taksi di sana harus tawar menawar udah gitu jelek-jelek. Jadi lupakan.

Berbekal sepasang baju di dalam ransel, berangkatlah pagi itu ke Soekarno Hatta. Naik travel dijemput di depan kost jam 5 pagi. Alhamdulillah perjalanan cukup lancar. Sampai bandara ngeprint tiket, check in dan ke imigrasi lalu pesawat bergambar singa merah itu pun take off sesuai jadwal.

Dua jam berselang mendaratlah di KLIA. Bandaranya bagus banget gede, jauh dibanding Soekarno Hatta. Saya jalan mengikuti arus orang sambil lirik sana sini. Tiba-tiba semua berhenti di depan pintu seperti pintu lift saya pikir mau ngapain, ternyata harus naik train untuk ke imigrasi. Ouuw…

Di train itu saya ditanya oleh ibu-ibu dari Jakarta yang hendak berlibur bersama suami dan dua anak perempuannya.

“Mo kemana?”
“Bukit Bintang”
“Sama donk, udah sering kesini ya?”
“Baru kali ini”
“Hah baru kali ini, tapi disini ada temennya?"
"Gak ada..."
"Sengaja jalan sendirian?"
"Iya"

Lalu ibu itu menoleh ke anak-anaknya.

“Tuh, kamu berani ga?” kedua anaknya hanya melihat diam tanpa senyum khas gengsi anak abege.

Tiba-tiba seisi train jadi melihat ke saya. Jadi takut kalau ada yang berniat jahat gimana. Hiiyy... gak lah Insya Allah...

Selesai urusan imigrasi ibu mengajak barengan mencari bus ke kota karena satu tujuan dan sama-sama belum tau. Kami sempat menawar travel yang menurut petugas harganya “seratus lapan RM” dianter sampai hotel. Berarti kalau di bagi 5 orang seorang hanya 20 RM sekian. Akhirnya kami setuju naik travel walaupun sebenarnya saya pengen mencoba naik angkutan umum. Setelah bertransaksi ternyata “seratus lapan” itu maksudnya “180” bukan 108. Yaaahh... Kalau gitu mah mahal, kami batalkan dan sepakat naik bus yang hanya 10RM. Asyiikk donk sesuai dengan itinerary saya.

Tak berapa lama kami menemukan tempat bus. Ada satu bus yang siap jalan. Busnya bagus, nyaman dan tempat duduknya lega. Saya duduk di kursi paling depan bersebelahan dengan bapak gendut orang India. Ibu dan keluarganya duduk di belakang. Begitu duduk dengan santainya minum dan dilihat aneh oleh sopirnya. Ternyata ada tanda larangan makan dan minum di dalam bus. Hihi... Pantesan.

Kurang lebih 1 jam bus mulai masuk kota Kuala Lumpur dan berhenti di pinggir jalan. Belum sampai di KL Sentral. Banyak penumpang turun. Saya dengar ibu tanya ke pak sopir tentang Bukit Bintang dan disuruh turun disitu katanya sudah dekat. Saya pun diajak turun awalnya ragu tapi akhirnya manut. Ternyata ibu malah nawar taksi ke hotel yang hanya muat berempat. Lah trus saya dimana di bagasi? Penuh kali ama koper-kopernya.

Dari sinilah mulai timbul masalah. Saya tidak tau itu daerah mana. Segala ingatan tentang rute buyar semua. Tanya ke beberapa orang “Di mana stasiun monorail?” jawabannya tidak jelas semua. Ada satu petunjuk tulisan di gedung “Pudu Sentral” sering baca tentang itu tapi lupa tempat apa karena sebelumnya hanya mengandalkan KL Sentral tidak mendalami yang lain.

Saya mencoba masuk ke Pudu Sentral, menurut penjelasan petugas di sana hanya ada bus dan kereta untuk tujuan jarak jauh.

“Kalau mau ke Bukit Bintang naik apa pakcik?” 

Semua menjawab dengan bahasa melayu kental, dari pada capek jelasin dan gak ngerti juga, mending berterimakasih trus pergi.

Sempet nyesel ikut ibu itu harusnya tetap pada rencana awal. Karena diajak ngobrol serta tunggu-tungguan sejak di bandara, jadinya lupa mampir ke bantuan kecemasan (pusat informasi) buat minta peta. Tapi ya sudahlah semua sudah terjadi dan kini tinggallah sendiri menjalani hari yang sepi.

Lalu saya bergerak sekedar melangkahkan kaki daripada diledek sopir taksi karena dari awal menolak tawarannya dan tentunya mereka tidak mau kasih tau. Sambil melangkah malah menemukan China Town, Petaling Street, Central Market yang biasa tertulis di itinerary orang-orang. Tadinya menghilangkan bagian ini ternyata ketemu duluan. Karena tidak berniat shopping jadi hanya melihat sekilas dan mengambil beberapa gambar 

Langkah demi langkah terlewati. Saya menemukan papan petunjuk ke “STESEN KERETA” lengkap dengan tanda panah yang cukup jelas. Rasanya seperti dapet hadiah dari langit. Dari situ juga terlihat jalan layang rel kereta. Tapi anehnya kenapa posisi jalan layang di sebelah kanan tapi panahnya ke kiri. Kalau dipikir-pikir ya lebih baik mengikuti petunjuk. Setelah beberapa meter ada petunjuk lagi stesen kereta belok kiri, lalu nyebrang lampu merah lurus ada petunjuk lagi stesen kereta belok kanan. Semakin deg-degan karena semakin menjauh dari jalan layang dan stesen kereta belum terlihat juga. Malah semakin banyak pertokoan, mana mungkin daerah seperti itu dilewati kereta.

Kaki mulai jemper. Saya istirahat sejenak sambil memperhatikan ke sekeliling. Tiba-tiba baru ingat bahwa kereta di Malaysia itu artinya MOBIL. Berarti stesen kereta artinya stasiun mobil. Kampret!!! Hhhh...

Dulu jaman kuliah suka sok-sok’an ngomong pake bahasa Malaysia gara-gara suka mak cik, tapi pas dipraktekkan ditempatnya jadi lupa semua. Dasar gebl*k menyebalkan!!

Akhirnya jalan lagi tak tentu arah. Langit saat itu gelap, banyak mendung hitam bergelayutan. Ya Allah jangan hujan dulu sebelum dapat hotel. Setelah jalan lumayan jauh saya melihat “Stesen LRT” kalau tidak salah namanya Stesen Pasar Seni. Alhamdulillah terima kasih Ya Allah Engkau telah mengembalikan saya ke jalan yang benar.

Di stesen itu saya diam sejenak belajar peta, yang tau hanya ke KLCC. Dari KLCC punya bayangan untuk ke Bukit Bintang. Lalu saya beli tiket di mesin sambil membaca petunjuk tahap demi tahap. Sampai tahap memasukkan uang kok ditolak terus ada apa gerangan? Dicoba lagi tetap saja mental. Panik pun datang. Kebetulan ada bapak-bapak orang Medan tapi sudah lama tinggal di KL. Saya diajari beliau, kenapa uang ditolak terus rupanya kegedean. Oalah... Saya disuruh tuker di counter tiket. Nah barulah bisa beli tiket dengan lancar sampai sampai lupa ambil kembaliannya, lumayan 2.7 RM hiks...!!

Hanya menunggu beberapa menit kereta datang. Banyak tempat duduk kosong. Hanya melewati 2 stasiun sampailah di stasiun KLCC. Saya mencari jalan keluar yang cukup membingungkan karena harus muter ke mall. Dengan segala doa akhirnya tembus juga di pelataran Suria KLCC yang mana di atasnya bertengger dua menara kembar petronas. Saya melambaikan tangan ke puncaknya sambil teriak sekenceng-kencengnya “Mak Ciiikk... Aku di siniii…” tentunya hanya di dalam hati.

Tak berapa lama setelah membaur dengan para pelancong lainnya di depan Menara Petronas tiba-tiba gerimis datang. Semua berlari berteduh ke teras mall. Syukurlah hujan tiba setelah saya berada di tempat yang benar. Tapi masih was-was karena belum dapat hotel. Hujan yang tidak terlalu deres biasanya tahan lama.

Saya menghabiskan waktu jalan-jalan di mall sambil menunggu hujan reda. Katanya mall disitu ada 2 yaitu Mall Suria dan Mall P. Ramlee. Tapi hanya di satu tempat dan batasnya juga tidak jelas. Isinya juga sama saja seperti mall-mall di Jakarta, Plaza Senayan atau Taman Anggrek.

Setelah hujan mereda tapi masih menyisakan gerimis kecil, orang-orang banyak berhamburan keluar. Saya pun ikut menerobos gerimis. Rasanya kurang menantang kalau kembali ke jalan yang sama waktu berangkat seperti petualangan telah berakhir (belagu bangeett). Saya memilih jalan kaki sambil berharap menemukan hotel di dekat menara petronas. Ternyata sepanjang jalan hanya ada perkantoran dan hotel-hotel besar sudah pasti harganya selangit. 

Lanjut melangkahkan kaki dan ketemu dengan stasiun LRT lagi (lupa namanya). Saya masuk ke stasiun itu. Tiba-tiba di pintu masuk ada seseorang menegur saya “Haii…!!” Yang bener di negara orang ada yang kenal saya, mak cik kah? Apa memang saya mirip dengan orang terkenal? Ternyata ibu yang tadi bareng dari bandara. Hanya ngobrol sebentar dan berpisah begitu saja meneruskan tujuan masing-masing.

Lalu saya membeli tiket ke Stesen Dang Wangi dan lanjut naik monorail dari stesen Bukit Nanas ke Bukit Bintang. Jalan Alor tempat hotel kira-kira 700m dari stasiun. Ternyata hotel yang satunya (yang lebih murah) sedang renovasi, terpaksa check in di seberangnya. Resepsionisnya baik sekali tapi ada bapak-bapak chinese yang ikutan nimbrung. Mendengar saya dari Indonesia dengan santainya bilang "Oo... Orang indon" **sialan, paling kesel dibilang indon apa susahnya bilang Indonesia. Males jawabnya. Eh nanya lagi...

"Apa nama? Hallooo... Apa nama?"
"Apa nama? Dari mana maksudnya?" pura-pura ketus padahal pengen ketawa sambil nahan pipis.
"Iye, dari mane?
"Jakarta"

Info dari mahasiswa Indonesia di Malaysia kalau bilang dari lndonesia katanya sih dipandang rendah, makanya bilang dari Jakarta. 

Sore itu saya jalan-jalan di sekitar Bukit Bintang yang kebanyakan isinya mall. Tidak ada minat untuk masuk, lebih suka lihat yang di pinggir jalan. Kesannya biasa aja tidak ada sesuatu yang bikin WOW.


Jam 5 sore saya kembali ke hotel untuk mandi dan sholat maghrib. Sejam kemudian siap pakai mukena sambil menunggu adzan di TV. Eh melihat ke luar jendela kok masih terang benderang matahari masih mencorong. Lhaa...!! Saya turun ke resepsionis tanya jadwal sholat. Katanya maghrip jam "Tujuh Setengah". Masih satu setengah jam lagi. Baru ingat jam di Malaysia kan 1 jam lebih cepat. Haisshhh... Bingung juga letak Indonesia lebih timur seharusnya lebih duluan kenapa malah Malaysia lebih cepat. Terserah.

Malam itu di Kuala lumpur banyak acara pesta menyambut hari kemerdekaan Malaysia. Pusat perayaan diadakan di 3 tempat yaitu di China Town, Little India dan satunya lagi lupa yang pasti bukan di Menara Petronas seperti tahun-tahun sebelumnya. Saya tidak datang ke salah satu tempat tersebut karena males hujan dan capek. Lebih baik nonton siaran live di TV. 

Soal makanan, di depan hotel sepanjang jalan alor sejak maghrib penuh dengan penjual makanan. Dari Chinnese food, India, Thailand, Melayu bahkan lndonesia. Tapi saat itu pengennya makanan yang tidak ada yaitu bakso. Tiba-tiba terlintas bakso di dekat kost berakibat semua makanan disitu tidak mengundang selera. Saya masuk ke minimarket membeli roti, biskuit, buah dan sotfdrink. Esok paginya tidak bingung lagi karena ada fasilitas breakfast dari hotel walaupun rasanya gambreng semua.

Selesai sarapan saya check out dan mulai mengeksplore Kuala Lumpur. Pertama ke KLCC lagi karena belum sempat berfoto di depan Menara Petronas. Buat bukti pernah ke Malaysia bok. Puncak menara kelihatan dari hotel. Saya jalan kaki mencari jalan yang mengarah kesana. Entah berapa kilo akhirnya sampai juga. Belum banyak orang di bawahnya. Saya duduk sejenak melihat tingkah polah orang-orang yang sedang berfoto. Kebanyakan berombongan. Tapi ada satu mbak-mbak yang hanya sibuk memfoto gedung sepertinya pergi sendirian. Baru juga kepikiran deketin mbak itu eh mbaknya deketin duluan.

"Can you help me..." sambil menyodorkan kamera.
"Oh... Sure, where are you from?"
"Indonesia"
"Wah sama, mbak dari mana?
"Bandung, tapi lama di Surabaya"
"Berarti iso jowo mbak"
"Iso..."

Beliau bernama mbak Any lagi punya urusan kerja di KL. Akhirnya ketemu juga teman baru diperjalanan. Bener kan kata di majalah itu, tidak usah takut solotraveling.  Bisa cekikikan sambil baca tulisan di pinggir jalan yang lucu-lucu "Awasi Penyeluk Saku, Balai Polis Bergerak, Pusat Beli Belah (kalau gak beli di belah)". Seandainya ketemu dari kemaren, bisa langsung tertawa lepas tidak ditahan sendiri. Sekedar saran buat yang pertama kali ke Malaysia bawalah teman biar gak senyum-senyum sendiri kya saya. 

Saya dan mbak Any, Thanks ya mbak... :)