Jun 6, 2021

Terbalaskan

June 06, 2021 4 Comments
Saya mengakui bahwa saya bukanlah orang baik. Di lubuk hati masih sering menyimpan kekesalan yang kadang malas untuk menumpahkannya. Bisa dikatakan hanya masalah kecil yang seharusnya dilupakan dan dimaafkan. Tapi itulah jeleknya saya masih mengingat hal yang menyebalkan itu apalagi jika orang yang menyebalkan masih berkeliaran di depan mata.

Saya masih kesal jika teringat saat itu. Saat dimana kerja di ruangan baru dan kerjaan baru bersama teman yang saya kira orangnya asyik. Awalnya salut dengan anak baru sebutlah Nona Rosa dan Nona Viny. Masih fresh graduate tapi rajin sekali dan sikapnya sangat manis tidak emosional. Pernah kerja bareng beberapa bulan nyaris tidak pernah punya kenangan buruk. Semua berjalan baik dan akrab seperti yang lainnya.

Suatu hari saat corona menyerang dan dinyatakan pandemi saya ditugaskan di ruang baru. Sebut saja ruang corona. Saya disuruh memilih teman yang kira-kira bisa diajak kerja sama. Di tempat baru ini membutuhkan ketelitian dan kesabaran menggunakan benda-benda yang berukuran kecil untuk menemukan keberadaan makhluk renik yaitu virus corona. Makhluk yang lebih kecil daripada bakteri. Sebelumnya saya dipercaya mengolah bakteri bersama beberapa teman yang berminat di bidang itu. Belum tentu semua orang sabar mengerjakan identifikasi bakteri yang terbilang rumit.

Saya memilih teman berdasarkan antusias dan kesabaran mereka saat berhadapan dengan bakteri. Ditambah status mereka yang belum karyawan tetap diharapkan pengalamannya bisa menjadi nilai tambah jika ada perubahan status ke depan. Terpilihlah Nona Rosa dan Nona Viny. 

Satu lagi yang lebih senior yaitu Ibu Nela yang memang mengajukan diri karena berminat belajar tentang corona. Kami berempat ditraining bersama sebelum akhirnya diturunkan hanya tiga orang yaitu saya, Nona Rosa dan Nona Viny. Ibu Nela untuk back up karena matanya sudah punya perpaduan minus dan plus sehingga tidak kuat berlama-lama menatap benda yang terlalu mungil.

Seiring berjalannya waktu dari yang kami bekerja sambil meraba-raba memperbaiki setiap kesalahan hingga akhirnya menemui jalan kelancaran. Dari sampel sedikit hingga berjibun. Saya sungguh menikmati pekerjaan ini karena setiap hari selalu ada pelajaran baru. Menjadi penemu dan saksi pertama orang-orang yang terinfeksi corona merupakan tantangan tersendiri. Telpon berdering setiap waktu. Banyak yang ingin menanyakan kabar tentang hasil tesnya. Tapi saya tidak pernah memberitahu sebelum hasil keluar secara resmi. Ada tim sendiri yang akan menelponnya.

Di sela-sela asyiknya pekerjaan baru, saya mulai terusik dengan sikap para nona-nona ini. Mulai terlihat malas-malasan dan emosinya sebentar-sebentar meningkat. Jalannya edal-edol seperti kucing kekenyangan. Glendat-glendot antara mau dan tidak. Diajak mempercepat langkah jawabnya sengak "Ya udah duluan aja!!". Seakan "Ngapain sih ngatur-ngatur gue emang elu yang gaji gue!" Beda hal disaat jam pulang. Melesat secepat mungkin tak akan sabar menunggu saya untuk sekadar menukar sepatu. Sepatu untuk di luar ruangan beda dengan di dalam.

Ini sangat menyebalkan. Songongnya keluar 100% merasa di atas angin. Saat itu tes corona menjadi andalan utama sedangkan baru kami bertiga yang bisa mengerjakannya. Belum ada yang lain. Ibu Nela jarang diturunkan. Bangga sih tapi tidak perlu congkak juga. Siapapun juga bisa asal dilatih.

Mau mulai bekerja ada saja alasan untuk menundanya. Sarapan dan minum secukupnya menjadi kebutuhan utama sebelum memakai hazmat. Harusnya selesai ritual segera mulai bekerja. Tapi bermain henpon tampak lebih penting dari segalanya dan akan menunda pekerjaan bisa sampai 1 jam lebih. Disitu saya kesal sekali tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Kecuali mengalah atau mulai lebih dulu dan itu akan membuat mereka cemberut sepanjang hari. Saya bukan gila kerja tapi menunda sesuatu karena bermain henpon bukan jiwa saya. Apalagi mengingat teman-teman yang bertugas di tempat lain sudah bertempur sejak pergantian shift. Tim saya masih haha hihi nonton youtube Aurel dan Atta Halilintar. Gondok nggak sih!

Itu baru drama di pagi hari sebelum ritual kerja. Di tengah-tengah ada saja masalah yang seharusnya tidak perlu dihadapi dengan emosi. Seperti setel musik untuk membunuh sepi. Daripada mendengar musik henpon bersuara cempreng saya menyambungkan ke speaker bluetooth agar lebih jernih. Pilihan musik sesuai selera mereka saya tidak pernah mempermasalahkan.

Suatu pagi seperti biasa saya memberikan speaker. Tiba-tiba Nona Rosa berkata sengit entah apa saya kurang dengar diikuti sikapnya yang cemberut sepanjang hari. Entah apa yang salah di pagi itu. Saya merasa tidak membuat kesalahan jadi berpura-pura seperti tidak ada masalah. Sampai jam pulang tetap diam melengos dan sebisa mungkin menghindari kontak mata. Kejadian seperti itu diulang sampai hari-hari berikutnya. Bahkan lebih sering cemberutnya daripada sikap baiknya. 

Seharusnya semakin lancar, kapasitas sampel ditambah bukan semakin malas-malasan dengan sisa waktu. Saya sempat membahas mengutarakan niat itu tapi ditolak mentah-mentah. Sikapnya selalu lebih galak seperti kucing jantan yang sedang birahi. Malah semakin tidak mau bertegur sapa sebisa mungkin menghindari saya. Hanya mengobrol antara mereka berdua. Nasib saya saat itu hanya sebagai orang-orangan sawah yang terdampar.

Ada lagi masalah yang membuat saya agak mendidih yaitu soal lampu. Mereka selalu ingin gelap-gelapan cukup dengan penerangan dari lubang jendela. Alasannya lampu terlalu terang menyebabkan pusing. Sedangkan mata saya minus 4 dan silindris 1 sungguh tersiksa dengan hal itu. Mata perih pedes capek kepala nyut-nyutan sepanjang hari apalagi ada satu tahap di pekerjaan yang memang membutuhkan sedikit cahaya dan saat itu masih menjadi tugas utama saya. Dari pagi kekurangan cahaya saat turun ke ruangan yang remang-remang mata saya semakin pedih sampai berair karena harus bekerja lebih keras. Tapi hal ini tidak berlangsung lama. Saya katakan keberatan dan mereka minta maaf. 

Saya juga minta maaf dan minta diingatkan jika tiba-tiba lalai. Menurutnya hal yang tidak disukai tentang saya adalah saya mudah menyalahkan orang lain. Contohnya, mengeluh tentang bos berulang-ulang saat keadaan panik, itu bukan solusi yang baik justru hanya menambah panik. Okey saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Tapi yang dicontohkan agak kurang nyambung. Mungkin yang mereka maksud seperti tidak mengembalikan barang pada tempatnya saya tidak suka karena akan menyusahkan untuk selanjutnya. Biarpun sepele tidak seharusnya dianggap wajar. Disiplin dari hal kecil akan memudahkan semuanya karena kami kerja tim. Suasana harmonis sempat terjalin kembali. Saling pengertian dan menjaga komunikasi dalam urusan kerja. Namun sayangnya tidak berlangsung lama. Nona kembali bertanduk seperti meong sedang berebut pacar.

Semakin lama sampel yang semakin bertambah banyak. Tenaga tambahan mulai datang. Grup dibagi dua masing-masing beranggotakan 3 orang. Saya segrup bersama Ibu Nela dan teman yang baru masuk dari cuti melahirkan yang biasa saya panggil Nong. Grup Nona Rosa dan Nona Viny ditambah anggota Nona Bibie tenaga job order. Tidak ada training khusus bagi tenaga baru. Latihan sambil terjun langsung dengan bimbingan kami yang lebih dulu belajar.


Jika sampel tidak terlalu banyak hanya satu grup yang diturunkan. Grup kurcaci (begitu bos memanggilnya) sementara ditugaskan di ruang utama bersama teman yang lain untuk turun ke lapangan mengambil sampel swab. Mereka akan dipanggil sewaktu-waktu ke ruang corona saat sampel berlimpah.

Grup kurcaci sudah sangat pintar, cerdas dan di atas awan semua. Bekerja sesuai kehendak mereka. Punya cara sendiri yang paling ajaib. Tidak perlu diskusi apapun apalagi dengan mahluk yang penuh dosa seperti saya. Cara ajaib itu adalah "Kalau ada yang ribet kenapa harus mudah". Seperti menulis daftar nama harus dua kali. Di kertas dulu baru dipindahkan ke buku. Padahal bisa langsung di buku. Tapi tampaknya repot itu kebanggaan tersendiri.

Saat itu melaporkan hasil masih manual. Saya menuliskan dengan membedakan jarak atau memodifikasi warna bolpoint agar mudah ditandai dan dihitung. Meminimalisir kesalahan mana yang positif, negatif atau diulang. Kurcaci lebih suka ditulis sesuka hati. Jaman digital menulis merupakan hal yang terpaksa. Benar saja sesuatu yang tidak diharapkan terjadi yaitu sampel yang seharusnya diulang jadi tertinggal. Tidak terlihat apakah itu harus diulang atau dikeluarkan karena sekilas tulisannya sama. Kejadian itu membuat mereka sadar (lebih tepatnya malu) betapa hal sepele bisa berefek panjang dan merugikan orang lain. Lebih baik ribet sedikit tapi akan memudahkan semua termasuk petugas yang membuat laporan di ruang utama.

Mereka juga sering tidak membalas pesan di whatsapp. Bertatap muka juga rasanya enggan. Maklum kami makhluk yang penuh dosa sehingga tidak perlu diajak bicara apalagi didekati takut menempelkan najis. Sedangkan komunikasi antar grup saat itu sangat penting. Tapi mereka pura-pura tidak membuka whatsapp padahal biasanya tidak bisa lepas dari henpon. Kami sering kali dibuat bingung saat meneruskan pekerjaannya. Akibatnya kamipun malas untuk berkomunikasi kecuali memang mendesak sekali dan harus sabar menunggu responnya karena nona pasti sibuk sekali terlalu banyak endorse.

Suatu hari saya dan tim masuk seperti biasa. Jam 1 siang bersiap-siap menuju ruang tempur. Nona Rosa sedang sibuk bekerja sehingga tidak menghiraukan saya yang sedang kebingungan mencari troli untuk mengangkut barang. Sebisa mungkin membuang muka menghindari kontak mata jangan sampai ada kesempatan untuk berbicara. Saya juga sadar diri saya makhluk penuh dosa tidak mungkin mengusiknya.

Di tengah kebingungan salah satu senior kami mengatakan bahwa grup nona pagi itu salah jadwal. Troli sudah dibawa dan ditinggalkan di ruang corona. Mereka seharusnya tetap dinas di ruang utama tapi sempat diinformasikan dinas pagi di ruang corona. Padahal sampel sudah selesai semua oleh grup saya sehari sebelumnya. Nona tampak kesal sekali sampai tidak keluar sepatah katapun.

Itulah pentingnya komunikasi tapi mereka enggan melakukannya. Merasa tidak perlu bertanya kepada makhluk yang penuh dosa ini. Berangkat jam 5 pagi saat turun hujan itu lumayan perjuangan. Setidaknya harus bersiap-siap satu jam sebelumnya saat mata masih lengket. Eh ternyata salah. Di jadwal yang sebenarnya tidak perlu berangkat sepagi itu masih banyak waktu buat meringkuk di dalam selimut sembari menunggu hujan reda. Maaf ya kami harus tertawa puas karena merasa terbalaskan semuanya. Puaaass banget. Rasain!! Emang enaaakk...

Sekarang nona-nona ini jadi salah tingkah setiap bertemu. Sudah kembali bersikap baik. Dengan canggung dan dibuat-buat berusaha menciptakan suasana seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Tapi berhubung sifat aslinya sudah ketauan yang kalau disenggol sedikit bisa meruntuhkan dunia saya malas berinteraksi lagi dengan mereka. Sudah cukup. Bye!!! Nah begitulah jeleknya saya hehehe...