Jun 23, 2017

Semua Datang Untuk Kembali

June 23, 2017 0 Comments
Waktu subuh tanggal 22 Februari 2017 merupakan saat menyedihkan buat saya. Pagi itu setelah subuh saya melakukan tawaf wada untuk berpamitan pada Baitullah. Empat hari di Madinah dan empat hari di Mekah amat sangat sebentaaar sekali. Namun rasa syukur yang teramat besar saya panjatkan atas diberikannya kesempatan itu. 

Dada dan tenggorokan terasa sesak. Bulir kristal di pelupuk mata yang tak dapat dibendung saya biarkan mengalir sejadi-jadinya agar lebih lega saat melangkahkan kaki meninggalkan rumah Allah untuk sementara. Lantunan ayat suci sholat subuh saat itu begitu jernih serasa berbisik langsung ke relung hati yang terdalam. Mengingatkan akan Maha Besar Allah yang selalu menjaga, melindungi dan menuntun saya. Betapa besarnya karunia yang Allah berikan. Tiap detik ada kedamaian, ketenangan dan entah apalah yang pasti susah digambarkan, hanya air mata yang bisa berbicara tentang dahsyatnya pagi itu.

Hari-hari sebelumnya susah sekali untuk bisa sholat di mataf yang paling dekat dengan Ka'bah tapi pagi itu saya diberikan tempat yang paling depan biarpun bukan lurusnya pintu (disana untuk shaf laki-laki) tapi saya bisa melihat Ka'bah dari ujung ke ujung dengan sangat jelas. Dari tahajjud hingga selesai subuh banyak keajaiban dan kemudahan yang saya rasakan. Subhanallah Alhamdulillah... Sebuah hadiah yang sangat istimewa untuk perpisahan sementara. Semoga itu bukanlah yang terakhir suatu saat masih diberikan kesempatan untuk berkunjung ke Baitullah bersama orang-orang yang tercinta. Aamiin Ya Robbal Alaamiin...

Malam ini rasa sesak itu kembali terasa karena malam perpisahan terakhir sholat tarawih yang artinya bulan Ramadhan akan segera berakhir. Sebulan berpuasa bagaikan sekelebatan mata. Apalagi sebagai perempuan ada saat-saat istimewa yang mengharuskan meninggalkan puasa.

Alhamdulillah masih diberikan kesempatan untuk bisa sholat berjamaah di Masjid dengan lancar. Hampir saja harus menerobos hujan tapi syukurlah hanya sebentar hujan mempersilahkan kami semua untuk lewat tanpa harus memakai payung. Di rakaat terakhir terdengar suara sang imam bergetar semakin serak sesekali menghilang akibat tak kuasa menahan sesak. Tak ada yang ingin mengakhiri hadirnya bulan penuh keberkahan ini. Tapi bagaimanapun semua ada saatnya bertemu dan juga berpisah. Semoga masih bisa bertemu lagi di Ramadhan yang akan datang. Aamiin Ya Robbal Alaamiin...

Jun 21, 2017

Menangis Di Halte Krematorium Jerman

June 21, 2017 0 Comments
Mau nangis itu saat pertama kali menginjakkan kaki di Jerman tanpa bekal kemampuan bahasa Jerman sama sekali. Mak jleb lemes seakan dunia telah berakhir dan ga tau mau ngapain. Itulah yang terjadi saat berhadapan dengan tulisan yang kebanyakan huruf konsonan berderet di halte di tengah hutan. Ngelihatnya aja pusing apalagi disuruh baca. Parahnya udah bingung ga ada tempat buat nanya. Gimana adek ga nangis Bang, mana bentar lagi malem...

Sore itu yang sebenarnya udah malem tapi karena musim semi menjelang musim panas waktu siangnya lebih panjang. Jam 19.30 waktu Jerman seperti jam 3 atau 4 sore waktu di Indonesia. Gelap baru akan tiba di jam 22.00. Kami diturunkan oleh Bus Eurolines dari Brussel di sebuah halte di Aachen. Di tiket tertulis bus berhenti di Wilmerdosferstr. beim Gartencenter. Saya pikir tempat itu adalah terminal bus di tengah kota, yang bakal banyak bus dengan berbagai tujuan atau bus dalam kota, deket stasiun kereta atau setidaknya banyak angkot mewah alias taksi.

Ternyata pemirsa... Cuma halte kecil dikelilingi pepohonan tinggi dan rimbun ga ada rumah apalagi mall. Sepiiii banget hanya kedenger suara serangga. Beberapa meter ke arah kanan atau bisa juga ke kiri tergantung agan ngadepnya kemana ada rumah tapi tanda petunjuknya bertuliskan krematorium. Di depannya tampak kya toko souvenir tapi udah ga terlihat tanda-tanda kehidupan. Toko-toko disana jam 17.00 dah mulai tutup. Ga ada bus, kereta ataupun taksi. Taksi biarpun mahal masih bisa dinaikin lha kalo ga ada, adek harus gimana coba... Hiks!! Bener-bener jauh dari ekspektasi, berbanding terbalik 180 derajad.

Begini doank tiada keramaian di sekitarnya, biar masih terang tapi udah sepi kya tengah malem...

Di kejauhan ada 2 mobil terparkir dengan 2 orang lagi ngobrol di depannya. Tapi pas ditanya, sama sekali ga bisa membantu karena mereka berbahasa Jerman tulen. Seketika mimpi saya untuk keliling Jerman menghilang. Rencana suatu hari bisa solotraveling ke semua kota di Jerman kalo ada rejeki dan cuti panjang. Saat itu saya pergi bareng pasukan, bukan open trip tapi hanya jalan bareng dan saya latihan jadi kepala sukunya. Tapi dengan kejadian itu nyali saya tiba-tiba menciut, rasanya pengen bobok di rumah aja.

Saya duduk tak berdaya menenangkan diri sejenak sambil mengamati, benarkah ini tujuan akhir dari bus yang saya naiki? Ternyata benar ada bus lain A, B, C dan D dengan berbagai tujuan yang akan berangkat dan berhenti disitu. Semua ditulis dalam bahasa Jerman. Tapi kenapa ga ada satupun petunjuk menuju ke pusat kota ya?? Trus rute yang saya download dari mbah google naiknya dari mana?? Omaigat!! Wot ken aidu...

Tiba-tiba ada mobil sedan datang dan parkir di deket krematorium. Mak cling seberkas cahaya terang menyinari hidupku. Dengan kekuatan bulan kaki melangkah menuju sang cahaya alias bapak-bapak gendut berbaju merah duduk di dalam mobil sedang menikmati sepotong hotdog. Sebelum keluar sepatah kata tak lupa seuntai doa saya panjatkan semoga bapaknya bisa bahasa Inggris.

"Excusme..."
Bapak mengamati saya sekilas lalu mengangguk dan meletakkan hotdog di pangkuannya.
"Could you show me the way to hauptbahnhof?"
Bapak menggeleng ga ngerti apa yang saya ucapkan tapi masih terlihat semangat ingin membantu. Lalu saya mengambil secarik kertas dan menuliskan dengan sejelas-jelasnya HAUPTBAHNHOF dan ditunjukkan ke bapak. Hotel yang saya booking tidak jauh dari tempat itu. Diambilah kertas dan bolpoint saya sambil bergumam "houpttbandhoghfff..." ternyata pengucapan bapak beda banget, ada mendesah-mendesahnya kya orang kepedesan.

Kira-kira penjelasannya begini, pertama kamu naik bus 43 dari halte di sebelah krematorium dan turun di Bushof. Lalu naik bus lagi yang nomernya oleh bapak hanya ditulis pake kode seperti huruf v kebalik garis miring dan tulisan plengkor-plengkor ga bisa dibaca lalu tanda panah ke Hauptbahnhof.

"Oh okay. Thank you om..." pasang senyum semanis gulali.
"Dhgrjdhfhfjxx kdhgfdjdk mnfkirts" pesan om pake bahasa Jerman.
"Okey, thank you..." ngangguk pura-pura ngerti.

Alhamdulillah setidaknya udah dapet jalan terang buat langkah pertama. Tak berapa lama setelah kami berpindah ke halte yang ditunjukkan bapak, bus datang. Sebelum naik saya tunjukkan tulisan keramat dari om ke pak sopir.

"Excusme sir, I wanna go here..."
"Bushof... Hauptbahnhof... Okay you can go with this bus" pak sopir mengangguk datar tanpa senyum. Orang Jerman baik-baik tapi kadang susah tersenyum tapi tatapan matanya tetep tatapan sayang.
"How much the ticket for six persons?"
"For six hmmm....." toel toel mesin dan keluarlah selembar tiket.
Saking senengnya udah ga peduli berapanya, yang penting ngasih uang lebih biar ada kembalian.

Bus mulai jalan dan perlahan masuk ke tempat yang semakin kota dan semakin kota. Di dalam bus juga dilengkapi papan pengumuman elektronik bertuliskan nama-nama stasiun yang akan dilewati. Pastinya dengan huruf konsonan yang mendominasi. Kurang lebih 30 menit sampailah di halte Bushof dan pak sopir memberi tau kami untuk turun.

Kebingungan tahap 2 dimulai, mungkin karena kelihatan banget udiknya ga berapa lama ada seseorang mendekati saya dan menunjukkan halte yang dilewati bus ke Hauptbahnhof, karena disitu ada beberapa halte dan bertuliskan Bushof semua. Setiap halte pastinya beda jurusan.

Di halte ada jadwal keberangkatan bus. Bus bernomer yang ditunjukkan om ada diurutan paling bawah masih 45 menit lagi. Tapi tulisan kriting yang ga bisa dibaca sepertinya kode nomer bus lainnya. Saya coba naik bus yang saat itu berhenti di depan halte dan nanya ke mas sopir yang gantengnya kya Neymar. Saya tunjukkan primbon sakti di genggaman. Kebetulan mas Neymar bahasa Inggrisnya okey banget dan balik nanya...

"What is the name of your hotel?"
"AO Hotel"
"Okey near the Hauptbahnhof, you can go with this bus"
Alhamdulillah...

Tak berapa lama sampailah di Hauptbahnhof yang belakangan baru tau artinya Central Station. Mas Neymar kasih kode agar kami turun sambil berpesan...

"You just go straight till the traffic light and your hotel in the right side"
"Okay thank you so much Neymar..." tak kan kulupakan kegantenganmu kebaikanmu.

Finally nyampe juga saya di Jerman, ini berkat motivasi dari bapake katanya kalo ke Eropa harus ke Jerman, kalo ga ke Jerman berarti belum ke Eropa. Saya memilih kota Aachen karena selain berbatasan dengan Belgia dan Belanda, negara yang sebelumnya kami datangi, disana pulalah tempat kampusnya Eyang Bj. Habibie tokoh jenius idola bapake. Namanya RWTH, kepanjangannya susah Rhein Rheins apalah gitu googling aja sendiri biar ada kerjaan.

Saat saya kecil bapake sering dongeng sebelum tidur tentang Eyang dan diakhir dongeng selalu berpesan "Besok kalo udah gede sekolah yang pinter trus jalan-jalan ke Jerman lihat sekolahannya Pak Habibie" Alhamdulillah biarpun gedenya ternyata ga pinter ga pernah juara kelas tapi saya bisa nyampe ke Jerman. Berkat doa bapake. Saya menjadwalkan seharian penuh untuk keliling kampus sekedar melihat-lihat, syukur-syukur bisa ketemu calon profesor ganteng. 

Gimana cerita di kampus, nanti ya di episode selanjutnya yang pasti pake acara mewek-mewekan segala because suddenly someone is not interest about somethings and they're in a bad mood. It has made me sad, one of my big dreams almost never come true.