Oct 30, 2016

Airlines

October 30, 2016 0 Comments
Beragam cerita dari pahlawan devisa di Hongkong banyak menambah pengetahuan dan menjadi pelajaran buat saya. Mengingatkan untuk selalu bersyukur atas nikmat Sang Pencipta. Setiap orang punya jalan hidup masing-masing sesuai yang digariskan dan bagaimanapun semua sama di Mata Allah.

Bersyukur saya diberi kesempatan untuk melihat secuil dari dunia luas. Dengan lindungan-Nya saya bisa berangkat dan kembali pulang seperti sedia kala serta membawa sejuta kenangan yang tak terlupakan.

Sejak menjejakkan kaki di Hongkong aroma kental akan banyaknya pahlawan devisa mulai terasa. Kemanapun kaki melangkah pasti bertemu dengan sosok seseorang dengan bahasa yang tak asing lagi dan hampir semua mengira saya teman seperjuangannya.

Seperti saat di halte Tsim Sha Tsui, tiba-tiba ditanya oleh ibu-ibu...

"Mau ke Yuen Long ya dek?"
"Hmmm... Ga bu, mau ke Ngong Ping"
"Oh janjiannya disana?"
"Ga juga, saya sendiri aja"
"Lha temennya pada kemana?"
"Hmmm... Saya ga punya temen disini"
"Ooh masih baru ya?"
"Iya begitulah..."

Lalu ibu dan temannya pamitan ngajak salim cipika cipiki. Cipika cipiki disana agak beda yaitu 3 kali dimulai dari pipi kanan ke kiri lalu balik ke kanan lagi. Saya terbiasa hanya 2 kali ngerasa bingung trus pipi kanan sesi terakhir dianggurin aja. Barulah untuk seterusnya jadi ngikutin tiap kali kenalan dengan orang.

Ada lagi saat di Stasiun Mongkok, saya baru saja turun dari kereta tiba-tiba disamperin mbak-mbak yang gemetaran muka memerah sambil nunjukkin kertas kecil bertuliskan rute ke Macau dalam bahasa Inggris.

"Mbak badhe tanglet, nek badhe teng mriki numpak nopo?" (Mbak mau tanya, kalo mau kesini naik apa?)
"Mbak mo ngapain kesana?"
"Saya habis kontrak dari majikan yang sekarang, trus mo cari majikan baru suruh cari sendiri" 
"Mbak naik kereta yang jalur oren, turun di Central, sampe Central pindah ke jalur biru, ayo tak tunjukin" jadi kepikiran bisa ga ya secara Stasiun Central gedenya sak holak. "Mbak disini udah berapa lama?"
"Setahun"
"Loh udah lama, emang kalo libur ga pernah keluar kok masih bingung?"
"Saya kan kerjanya jaga anak, jadi ga pernah libur setahun" waduh tega kali... pulang aja yuk mbak :(

Saat itu saya lagi menggeret koper mo pindahan ke Shenzhen, andai masih punya waktu di Hongkong rasanya pengen nganterin paling ga sampe naik ke ferry. Tapi mo gimana lagi, akhirnya hanya mendoakan semoga mbaknya diberi kemudahan, ketemu dengan orang yang bisa menolongnya.

Lalu saya melanjutkan niat untuk pindahan. Di Stasiun Kowloon Tong saya mencari lift atau eskalator ke lantai atas tempat kereta ke Lo Wu berada. Tapi ga nemu, jadilah adek harus angkat koper berat lewat tangga, selangkah demi selangkah bang yang penting nyampe. Tiba-tiba dari atas tampak mbak-mbak dengan tawa manisnya menyapa sambil setengah ngledek...

"Wooee... Kowe arep nyang ngendiii...?? Arep pindah majikan too...??" 

**Aiih mimpi apa gw semalem...**

Lagi serius ngangkat berat jadinya ngebales cengar cengir doank. Beliau tampak menunggu sambil melihat saya yang jalannya kya keong. Usianya mungkin menjelang 30an, rambutnya diwarnai agak kecoklatan, bajunya keren, make up tebel, hidung bibir dan dagu tampak hasil operasi mirip mpok Atik (maaf) memang terlihat seperti itu. Gayanya pede banget jauh berbeda dengan mbak yang gemeteran sebelumya, tapi medok jawanya sama kental dan sama-sama bingung.

"Arep pindahan nyang ngendi?"
"Mau jalan-jalan aja, ke Shenzhen"
"Shenzhen iku ngendi?"
"Chino mbak"
"Ooo arep pindahan majikan ning Chino?"
"Ora jalan-jalan tok" haddeuuhh...
"Lah kok oleh jalan-jalan, gek pirang ndino?"
"3 hari"
"Ooo wenake iso libur telung dino, apik men majikane" haisshhh...

"Aku iki arep nyang Sha Tin goleki agen, aku arep pindah majikan"
"Kok ga dijemput?"
"Kudu goleki dewe, ngko dijemput ning stasiun. Nek nyang Sha Tin keretane sing ndi?"
"Kita searah, bareng aja mbak"
"Oh podo yo iso bareng"
"Nggih monggo"

Saya tarik koper ngikutin orang banyak menuju ke arah kereta Lo Wu sambil sesekali melirik peta dan petunjuk arah di dinding.

"Lha kowe ning kene jogo anak opo resik-resik omah?" 

**Lhadhalah...!!!

Lagi konsentrasi nyari kereta, pertanyaan terakhir mbaknya hanya terpending di jidat. Ngakak dah jadi mengalihkan perhatian dari mikirin mbak yang gemeteran. Kelihatan gaul pede tapi susah dijelasin. Kebetulan kereta telah terparkir tanpa pikir panjang kami masuk ke salah satu gerbong dan mencari tempat duduk namun tiada sisa. Terpaksa berdiri berpegangan tiang.

"Keretane kok aneh yo tandane ora enek lampune, mbingungke, tapi bener to iki?"
"Bener mbak, lewat 2 stasiun mbak turun nanti tak tunjukin"

Berlanjut ngajakin cerita tentang pindahan majikannya. Lumayan jadi tau berbagai nasib orang diperantauan.

"Kowe numpak opo ko Indonesia"
"Malaysia Airlines"
"Oh nek Garuda larang yo"
"Iya pastinya langsung dari Jakarta ga pake transit"
"Iyo nek mondag mandeg aku yo wegah marai kesel"
"Kalo saya demi murah mbak gapapa transit dulu"
"Piro Jakarta Hongkong?"
"Sekianlah.. PP"
"Lha kok murah, aku suk mben nek muleh yo arep numpak sing murah, jare koncoku sing Airlines"
"APA??!!" takut salah denger.
"Air'lines" bener-bener dilafalkan seperti tulisannya ga dibaca ala Inggris.
**Hahahaa... Husshh ga ada yang lucu!!**
"Semua juga airlines mbak, tapi biasanya di depan ada namanya lagi" (bingung kaget geli tapi kasian pengen jelasin) "Misalnya Malaysia Airlines, Hongkong Airlines atau Air Asia..."
"Woh!! Aku ga berani naik Air Asia, ga mau pengen sing Airlines wae..." langsung dipotong.
"Oh gitu... Baiklah..."


Airlines
Waktu terlalu singkat untuk ngobrol lebih mendetail dan suasananya pun kurang mendukung. Fokus jaga keseimbangan agar badan tak terhempas saat kereta melaju. Dua stasiun telah terlewati saatnya mbak turun. Disiapkan handphonenya untuk menghubungi agen yang akan menjemputnya. Setelah pamitan dadah-dadah mbaknya membaur keluar dan lenyap diantara lautan manusia. Pintu kereta menutup kembali dan kereta melaju kencang dengan kenangan airlines yang masih hangat dipikiran... Semoga majikan barunya baik ya mbak, betah kerjanya... Aamiin :)

Oct 29, 2016

Wong Ayu Majikannya Baik

October 29, 2016 2 Comments
Lanjut dari cerita sebelumnya ya Jalan-jalan ala Wong Ayu. Selesai sholat dzuhur saya turun ke lantai 1 Masjid Kowloon yang saat itu sedang acara open day. Dalam event ini komite dakwah Masjid Kowloon memberi kesempatan para pengunjung untuk mengikuti kegiatan di masjid secara gratis, diantaranya pengenalan tentang islam, tour masjid kowloon bersama guide, hijab try-out corner bagi yang ingin mencoba jilbab dan baju-baju muslim, menulis nama dengan arabic calligraphy dan yang paling penting buat saya adalah halal food corner. Tersedia beberapa softdrink, air mineral, kurma dan sambosa. Biarpun ga berasa laper tapi kalo ada yang gratis ya wajib dicoba apalagi bekal air mineral semakin menipis, lumayan kalo beli kan mahal hihihi... Haka gitu loh HK...

Peminatnya lumayan banyak apalagi arabic calligraphy antriannya paling panjang, ya sudahlah kasih kesempatan buat yang lain, saya cukup mengambil buku tentang dzikir berbahasa Malaysia yang free boleh dibawa pulang. Karena masih kenyang sambosa saya bungkus tissue dan diselipin di saku tas, lumayan buat ganjel kalo belum nemu halal food.

Halal Food Corner
Usai membaur di Masjid Kowloon saya melipir lagi ke Taman Kowloon melihat beberapa tempat yang belum sempat tersambangi. Pemandangannya kurang lebih masih sama di setiap sudut banyak orang yang berbahasa jawa (dibaca tenaga kerja asal Indonesia). Segala macam style mode ada semua, mulai dari yang sederhana sampai yang glamor ala artis hollywood baju kekecilan atau kurang bahan lengkap dengan aksesoris yang bling bling.

Puas keliling Taman Kowloon saya bermaksud mencari Star Ferry Pier yaitu tempat ferry jurusan Hongkong Island. Biar lengkap berangkatnya naik MTR baliknya naik star ferry yang ongkosnya hanya 2 HKD. Saya mengikuti petunjuk yang tersebar di taman ke arah China Ferry Terminal. Saya pikir pasti banyak ferry dengan berbagai macam tujuan disana. Ternyata memang banyak tujuan tapi ke daerah China dan Macau bukan tujuan lokal Hongkong. Okey dech berarti wong ayu salah sasaran.

Saya punya peta Hongkong ambil dari Information Center di Airport tapi hanya dilipet di dalam tas males ngebuka. Berhubung kesasar dan kaki mulai berdenyut jadilah duduk ngadem di bawah pohon sambil belajar peta. Ternyata tempat yang saya maksud ga begitu jauh, tinggal jalan lurus sejajar dengan garis pantai dan di sebelahnya ada Victoria Harbour salah satu view point untuk memandang gedung pecakar langit di sisi Hongkong Island. Kalau diterusin lagi nyambung ke Avenue of Star tempat yang dibangun untuk menghormati insan perfilman di Hongkong yang mana banyak bertaburan cetakan tangan para bintang terkenal. Tapi saat itu sedang tahap renovasi.

Tak jauh dari Victoria Harbour terdapat Clock Tower, adalah menara jam setinggi 44 meter yang dipelihara sebagai monumen bersejarah di Hongkong. Beruntung saya berkenalan dengan mbak Ami pekerja asal Indonesia yang pada akhirnya mengantarkan saya ke 3 museum di sekitaran Clock Tower, yaitu Hongkong Space Museum, Hongkong Museum of Art dan Hongkong Cultural Center. Menurut mbak Ami satu diantaranya adalah tempat artis mendapatkan awar-awar. Sempet mikir sejenak apa itu awar-awar? Yang tak lain adalah award.

Usai mengelilingi museum kami duduk santai di Victoria Harbour menikmati eskrim sambil menunggu gedung pencakar langit menyalakan lampu warna-warninya.


Es krim Kit Kat Greentea dibeliin mbak Ami, hampir lupa ga difoto dulu
Dibekelin tissue segepok juga oleh mbak Ami

Saat matahari mulai tenggelam satu per satu gedung pencakar langit di seberang mulai kerlar kerlip bak lampu disko. Biasanya jam 8 malem akan ada symphoni of light yaitu lampu laser warna warni yang akan dipancarkan gedung pencakar langit dan akan menari-nari selama kurang lebih 30 menit. Berhubung ga sabar menunggu saya berniat pulang ke penginapan sebelum symphoni of light tiba.

Saya naik star ferry ke Wanchai sesuai saran mbak Ami lalu lanjut naik tram. "Numpak tram wae sing murah, arepo nggremet suwe-suwe yo tekan" (naik tram aja, biar pelan lama-lama nyampe juga). Kadang bikin geli judulnya di luar negeri tapi ngobrolnya jawa tulen.

Sebelum pulang ke penginapan saya mengisi lambung dulu di Victoria Park, selagi hari minggu banyak pekerja dari Indonesia yang berjualan disana. Victoria Park ini disebut-sebut sebagai kampung jawanya Hongkong karena setiap hari minggu menjadi tempat berkumpulnya pekerja asal Indonesia. Saya naik tram dari Wanchai dan turun di halte Victoria Park. Begitu masuk ke area beberapa kali terlihat ibu-ibu yang menggendong ransel sambil teriak bakso-bakso. Tanpa pikir panjang saya dekati beliau.

"Bu yang jual nasi dimana?"
"Ada di depan sana ama temen saya, mau dibeliin?"
"Mau bu, saya tunggu disini ya"
"Pake ikan apa ayam?"
"Ayam"

Saya mengambil posisi wenak di bawah pohon di pinggir lapangan sambil melihat mereka yang sedang joget-joget campur sari, hiburan murah meriah pelepas penat di negeri orang. Tak berapa lama seorang ibu datang menghampiri dengan membawakan bungkusan di dalam plastik.

"Berapa bu?"
"27 Dolar"


Persis kya masakan ibu saya di kampung, tumis daun singkong dan kacang panjang, orek tahu dan tempe, telur dan ayam goreng.
Setelah menarik nafas sejenak karena perut kepenuhan saya kembali menunggu tram di tengah jalan. Emang relnya di tengah jalan tapi ada haltenya. Beberapa kali ada tram lewat tapi saya abaikan karena tujuannya bukan North Point. Tapi tiba-tiba ada ibu-ibu yang ngajakin naik jurusan Shauwaiken (kalo ga salah).

"Ayo naik!" ajak beliau dengan nada terburu-buru.
"Ini ke North Point ga"
"Iya apa aja nanti lewat sana!"


Naiknya dari pintu belakang turunnya di pintu depan sambil bayar, jauh dekat 2.3 HKD
Saya ngikutin ibu naik dari pintu belakang dan berdiri empet-empetan. Ga ada kursi kosong. Sesekali ibu merhatiin saya kasih kode agar jangan berjauhan. Di halte berikutnya banyak penumpang turun.

"Sini duduk" ajak ibu dengan tatapan penuh cinta... eh baik banget maksudnya.
"Iya makasih bu"
"Baru ya disini kok tampaknya bingung"
"Iyaa..."
"Baru berapa lama?"
"Baru datang kemaren"
"Ouw kok udah disuruh pergi, kok udah boleh pake kerudung?"
"Hah? Emang kenapa bu?"
"Kalo baru biasanya belum boleh, tapi lama-lama boleh sih"
"Oh gitu ya..." masih gagal paham maksudnya apa.
"Nanti turun dimana tau ga?"
"Tau, di stasiun Fotress Hill atau North Point"
"Emang tinggalnya dimana?"
"Diantara stasiun itu tapi saya lupa, sepertinya sih lebih dekat ke Fotress Hill"
"Yang bener coba diinget-inget lagi, ntar nyasar lagi, rumahnya tau ga?" tampak khawatir sekali.
"Ga tau persis tapi kalo udah ketemu dua stasiun itu udah deket bu, ntar dicari sambil nanya-nanya gampang lah" saya mulai paham arah perkiraan ibu jadinya ga nyebutin nama penginapan, ntar ketauan turisnya.
"Siapin uang recehnya, nanti turun sambil bayar ya 2.3 dolar"
"Iya udah, saya pake kartu"
"Oh udah dikasih ya?"
"Iya..."
"Diisi berapa?"
"150, tapi kyanya tinggal 60an"
"Wah udah dipake kemana aja emang?" melotot kaget.
"Semalem dari airport kesini, trus tadi siang dipake muter-muter"
"Baik banget ya majikannya..."
"Hmmm... Iya Alhamdulillah..." nah kan bener wong ayu dikira tekawe, tapi ya iyain ajalah. Dalam hati pengen jelasin tapi ga tega ibunya terlalu baik. Maafkan ya...

"Ibu udah berapa lama disini?"
"6 tahun"
"Aslinya dari mana?"
"Semarang"

"Satu stasiun lagi kamu turun ya, hati-hati, dicari yang bener rumahnya"
"Iya bu"
"Nomer telpon majikannya udah tau?"
"Iya tau..."
"Nih udah nyampe, sana turun hati-hati ya..."
"Iya makasih bu, assalamu'alaikum..."
"Walaikumsalam..."

Rasa sedih terharu senang geli membaur desak-desakkan jadi satu. Sedih karena ga berterus terang, terharu dengan ketulusan ibu yang baru saja saya kenal, senang karena seharian bertemu dengan orang-orang baik, bisa pulang ke penginapan dengan lancar dan geli karena dikira tekawe. Ya gapapa toh sama-sama kerja juga, seandainya bisa memilih pasti pengen jadi majikan semua.

Oct 18, 2016

Jalan-jalan ala Wong Ayu

October 18, 2016 2 Comments
"Wong ayu wes mangan durung wong ayu... Pengen opo bakso, soto, rawon, rujak, pecel, nasi rames? Kene mampir sek..."

Logat jawa kental menyapa saya di sepanjang Taman Kowloon yang berada tepat di belakang Masjid Kowloon. Beberapa gerombol orang duduk di bawah pohon beralaskan tikar maupun plastik berbincang ringan sambil sesekali menikmati kudapan. Beberapa yang lain tak hentinya menawarkan ke setiap orang yang lewat walaupun tak tampak menu utama selayaknya di warung makan.


Semakin siang udara semakin panas. Saya membayangkan makan sesuatu yang berkuah dan ditemani segarnya es buah. Teringat sejak pagi perut saya hanya terisi bubur instant bekal dari Indonesia, semakin mempercepat langkah saya untuk mendekati segerombolan ibu-ibu yang menawarkan bakso.

"Bu mau bakso ya"
"Bakso urat apa telor wong ayu?"
"Telor, yang kya dimakan mbak ini" kata saya sambil menunjuk ke bakso yang sedang dinikmati oleh mbak pembeli sebelumnya.
"Yo wes lungguho sek" (silahkan duduk dulu).

Saya duduk di sebelah mbak yang menyendok pelan kuah bakso berwarna kuning kemerahan lalu dinikmati anget-anget sambil kepedesan.

"Ko ngendi wae ki mau?"
"Muter-muter wawon mbak"
"Indomu ngendi?"
"Pacitan"
"Mbak e pundi?
"Aku Semarang, wes suwe no kene?"
"Baru semalem mbak"
"Jenengan?"
"Aku wes telulas taun"
"Waaoww..."
"Lha koe lagi teko kok wes kon mlaku-mlaku rene?"
"Dalem dolan mawon mbak"
"Oh tak kiro kerjo no kene, adoh men ale jalan-jalan tekan Hongkong"

Bener-bener Hongkong rasa jawa, sekilas ga kerasa suasana di Hongkong karena hampir di setiap sudut terdengar logat jawa medok dengan suara kenceng.

"Iki bakso mu wong ayu, sambel e njupuk o dewe..." ibu bersuara lucu agak cempreng ini membuat saya menahan tawa. Logat jawa medoknya ga ilang sedikitpun walau hampir 20 tahun kerja di Hongkong.


Asli enak banget..!!!

Semangkok bakso dengan asap mengepul dihidangkan entah dimana diraciknya, bersama bag shop yang berisi botol saos, kecap, cuka dan sambel.

"Minume opo es campur, es blewah, es teh?"
"Es blewah..."

Tak berapa lama es segar berwarna oren dihidangkan, lagi-lagi saya ga tau dimana dan bagaimana meraciknya.

Keburu haus sampe lupa ga difoto dulu

"Jualan ngene iki karo ngumpet-ngumpet dek, ngko nek konangan polisi iso ditangkep, dipenjara, didenda, diulihno ga oleh kerjo maneh no Hongkong" cerita mbak sebelah sambil menikmati baksonya yang sudah hampir habis. 
"Ada mbak yang sampe ketangkep?"
"Banyaaakk... Tapi yo tetep wae"

Seperti yang saya baca di google kegiatan perdagangan yang dilakukan pekerja Indonesia ini adalah ilegal. Peraturan dari pemerintah Hongkong pekerja pendatang hanya diperbolehkan bekerja sesuai yang tertera pada visa dan kontrak kerja. Tidak boleh melakukan aktivitas perdagangan diluar jam kerja dan di hari libur. Konon pelanggar yang tertangkap dan dinyatakan bersalah akan didenda sebesar HKD 50.000 (setara dengan 85 juta rupiah) dan dijatuhi hukuman penjara maksimal 2 tahun. Paling apes ga boleh kerja lagi di Hongkong.

Sudah menjadi pemandangan umum setiap hari minggu di taman area publik di Hongkong akan menjadi lautan manusia yaitu para pekerja yang sedang berlibur. Menurut pengamatan sejauh mata memandang kebanyakan pekerja dari Indonesia. Banyak kegiatan yang dilakukan mulai dari belajar make up, photography, pengajian atau sekedar bertemu dengan teman seperjuangan menghilangkan penat kerja selama sepekan.

Perkumpulan inilah yang dimanfaatkan oleh beberapa pekerja untuk mencari tambahan pendapatan. Mereka berjualan dengan berbagai cara agar terhindar dari razia polisi. Biasanya barang dagangan akan disembunyikan di dalam koper atau ransel dan hanya akan dibuka saat ada yang memesan. Sehingga hanya terlihat seperti sedang piknik. Mulai dari jualan pulsa, pakaian katanya bisa bayar tunai maupun kredit, dan yang paling banyak tentu saja makanan khas Indonesia. Jadi siapa yang telah lama merindukan cita rasa kampung halaman tentu dengan mudahnya bisa terobati. Selain itu ada juga jasa tukang pijit urut bagi yang badannya pegel-pegel. Lengkap deh kampung jawa pindah.


Kalo di Disneyland bisa ketemu tokoh disney kalo di taman ketemu tokoh pewayangan, konon mereka cuma iseng belaka

Selesai membayar ke ibu yang biasa menyapa wong ayu, saya berniat ke masjid sebelum adzan dzuhur berkumandang, karena adzan tidak akan terdengar sampai keluar. Ternyata dari mulai teras, tangga dan di dalam masjid yang terdapat beberapa ruangan full semua oleh pekerja asal Indonesia. Luaaaarr biasa. Dan setau saya kebanyakan berbahasa jawa entahlah ada suku lain apa ga. Untunglah saya masih bisa nyelip di barisan paling belakang empet-empetan dengan yang lain.

Melihat hal baru seperti ini tangan saya gatel pengen ambil kamera, kebetulan saat itu sedang ada penggalangan dana untuk musibah banjir di Garut.

"Mbak boleh moto ga?" tanya saya ke mbak di sebelah.
"Boleh, moto aja, emang baru pertama kesini ya?"
"Iya mbak"

Beberapa kali jeprat jepret sekenanya, kemudian kamera saya mengarah ke pojok tempat ibu-ibu yang menghitung uang hasil penggalangan dana. Hanya dizoom dari jauh. Tiba-tiba seorang ibu mendatangi saya dengan nada agak marah.

"Itu kamu yang foto-foto ada perlu apa?!!"
"Hah!!! Mak Deg!! "Oh iya bu, maaf saya ga ada perlu apa-apa, saya hanya jalan-jalan trus pengen moto aja, kalo ga boleh saya hapus lagi" hiiyy takut... gugup gumpita.
"Boleh boleh aja tapi tujuannya harus jelas, buat apa?"
"Hmm... Ceritanya saya lagi liburan bu, foto ini nanti mau saya tunjukkan ke teman-teman di rumah, cuma buat cerita gitu aja"
"Ooo... Lagi liburan... Ya udah ga apa-apa" seketika raut wajah ibu berubah seperti ga keenakan. "Jadi nanti disini semua akan transparan tiap dana sodaqoh yang masuk akan dipublikasikan di buku iqro yang akan terbit setiap bulan, seperti yang dibagikan tadi pagi itu" ibu menambahkan nasehatnya, saya iyakan aja walaupun kurang paham maksudnya.

Lalu ibu kembali membaur dengan teman-temannya yang sepertinya para koordinator kegiatan dan saya duduk kembali diantara banyak mata yang memandang. Cukup menebar senyum lebar sambil menyimpan kamera ke dalam tas. Hasrat memoto jadi hilang berubah rasa kaget bercampur deg-degan. Wes lah jo kakean polah. Tapi boleh deh dishare biar tergambar suasananya.



Baiklah nanti dilanjut lagi, sekarang wong ayu mau sholat dulu... :)

Jul 22, 2016

Mudik Lebaran

July 22, 2016 0 Comments
Mudik lebaran setahun sekali merupakan moment yang tak ingin dilewatkan oleh umat muslim tak terkecuali saya. Macet berjam-jam seakan menjadi keistimewaan tersendiri yang harus dinikmati dan menjadi cerita kenangan saat sampai di kampung halaman. Sampai muncul istilah kalau ga macet bukan mudik.  

Saya pernah merasakan terjebak macet saat mudik lebaran H-3 ke Pacitan. Waktu tempuh yang biasanya sekitar 15 jam, jadi melar sampai 32 jam. Dan itu rasanya tersiksa. Pantat panas, kaki kesemutan kelamaan menggantung dan badan pegel ga bisa dilurusin selama perjalanan. Akibatnya jadi mikir lagi jika harus mudik mendekati hari H lebaran. Kalau ga pakai pesawat atau kereta mending ditunda sampai setelah lebaran. Jalanan biasanya melompong bisa ngebut kya Valentino Rossi dan nyampe lebih cepat dari biasanya. Mau pake pesawat juga tiketnya murah.

Lebaran tahun ini saya diajak mudik bareng kakak di H-4. Tapi karena jadwal kerja yang ga bisa diutak-atik lagi, jadilah hanya bisa gigit jari ditunda setelah lebaran. Ngintip tiket pesawat udah pasti mahalnya berlipat dari harga standar. Baiklah ga apa-apa lebaran di mana-mana sama aja. Yang penting bisa sholat Ied.

Namun akhirnya saya jadi bersyukur, ternyata kakak terjebak macet yang super di jalur neraka (orang menyebutnya itu) atau bahasa kerennya Brexit, Brebes Exit. Total 3 malem 2 hari baru sampai di kampung halaman. Kalau jadi bareng, baru nyampe rumah saya harus balik lagi karena liburnya hanya sebentar. Syukurlah saya diselamatkan dari kemacetan paling parah sedunia itu.

Demi memaksimalkan libur yang hanya 4 hari saya memilih mudik naik pesawat ke Jogja. Dari Jogja saya berencana nyambung travel ke Pacitan yang berangkat tiap 3 jam sekali. Saya pilih flight jam 10.00 WIB agar bisa naik travel yang jam 12.00 WIB. Berangkat ke airportnya juga ga pagi-pagi banget.

Pesan nasi goreng dulu di Bakmi GM, boarding passnya kok jadi sederhana banget sih kya struk indompret

Saya berangkat dari Cilegon naik Bus Damri 4,5 jam sebelumnya agar waktunya longgar. Taunya sampe bandara pesawat murah air itu delay. Katanya 50 menit kenyataannya jam 12.30 WIB baru take off. Lumayan lah dapet roti sama aqua gelas sebagai kompensasi. Nah kacau deh jadwal travel selanjutnya, harus menunggu lagi yang jam 15.00 WIB. Tau gitu kan... ambil flight yang agak siang sekalian. Hiks! Yo wes gapapa masih lebih baik dari pada kena macet di tol Brenxsek Brexit.

Selesai urusan bagasi saya telpon kakak yang ternyata saat itu sedang perjalanan ke Solo ada urusan apa entahlah. Saya disuruh menyusul ke Solo naik bus atau kereta. Karena kurang pengalaman saya males lebih tepatnya ga gitu berani hihihi... Saya orangnya penakut. Jadi ya tetap akan menunggu travel yang tinggal satu setengah jam lagi.

Setelah sholat saya mencari tempat yang nyaman untuk membunuh waktu. Masih tersisa sebuah kursi di seberang mushola untuk menikmati hirup pikuk bandara Jogja. Baru juga duduk semenit tiba-tiba ada mas-mas sebut saja Nicholas yang duduk bersebelahan, minta tolong untuk berbagi wifi. Nicholas asli dari Solo baru saja pulang dari China dan akan menghubungi teman yang akan menjemputnya.

Berlanjut curcol. Saya disarankan Nicholas untuk menyusul kakak ke Solo naik kereta yang katanya ada setiap jam. Naik dari stasiun yang masih terhubung dengan bandara tinggal jalan kaki selemparan kolor. Lalu saya menelpon travel ke Pacitan yang ternyata masih bisa dibatalkan. Jadilah berubah haluan saat itu juga. 

Saya tarik koper menuju stasiun lewat lorong bawah tanah mengikuti papan petunjuk. Sampai di stasiun antrian lumayan panjang dan ternyata kereta ke Solo yang jam 15.00 WIB habis, ada lagi jam 18.00 WIB. Nah lo katanya ada tiap jam... Mana travel udah dibatalin, ga enak donk mau balikan lagi.

Saya bertemu dengan Tante Enik yang juga mau ke Solo. Sama-sama galau antara menunggu sampe jam 6 sore atau cari alternatif yang lain. Akhirnya kami mencoba untuk sharing mencari taksi, tapi ternyata mahal-mahal. Lalu kami balik ke bandara ke pintu keberangkatan berharap ada taksi Solo yang melintas, barang kali bisa lebih murah. Beberapa taksi yang lewat menawarkan harga yang kurang lebih sama mahalnya antara 400-500 ribu. Berhubung ga buru-buru kami masih bersabar menunggu keajaiban semoga masih ada yang lebih murah.

Saat ngobrol dengan sopir taksi tiba-tiba ada mas-mas sebut saja Rangga dan Mamet yang datang dari Solo mengantar temannya yang akan terbang ke Lombok. Mendengar percakapan kami Rangga menawarkan untuk bareng ke Solo karena mobilnya kosong. Waahh gayung bersambut rembulan. Ga enak tapi terpaksa tapi mau, ya udahlah naik aja. Kami berniat mengganti ongkos bensin tapi Rangga menolak. Terimakasih Rangga. Terimakasih Mamet. Semoga Rangga awet dengan Cinta dan Mamet dengan siapa aja.

Kurang lebih 1.5 jam setelah menerobos sedikit kemacetan sampailah kami di Solo. Saya dan Tante Enik turun di Stasiun Purwosari. Sebenarnya Rangga siap nganter kemana aja tapi kami tidak mau merepotkan. Cukup turun di tempat yang dilewati aja. Tante Enik lanjut mencari taksi ke rumahnya. Saya tetap di depan stasiun menunggu kakak yang saat itu masih terjebak macet di Solo Baru.

Di depan stasiun nongkrong sebuah gerobak angkringan dengan berbagai macam makanan. Berhubung pengen ngemil saya comot sate usus lalu tempe mendoan, tahu dan putih telur goreng. Ada lagi sate ayam yang bikin penasaran, warnanya kuning-kuning merona, tapi bukan daging seperti tulang muda tapi campur daging. Entahlah itu potongan bagian mana. Saya lagi ga pengen makan ayam tapi dari pada penasaran ambil 1 tusuk. Potongannya lumayan besar ada 6 biji. Rasanya pun ga mengecewakan, seperti daging tapi agak keras kenyal-kenyal dan ada sedikit tulang muda. Sambil melahap sate saya minta pak penjual menghitung habis berapa semuanya.

Saat menunggu uang kembalian saya perhatikan sate yang tinggal sepotong lagi, daging apa sih kok enak. Gubrraaakkkkk... Rupanya brutu (pantat ayam) Huueeekkk... Seketika jadi mual. Segala kenikmatan luntur karenanya. Enak sih emang tapi jijik. Huaaaa.... Menyesal..!!! Langsung teringat temen sebut saja Isyana. Dulu suka ngledekin dia karena suka banget minum teh botol dan makan brutu, eh suatu hari pas saya lagi pengen-pengennya teh botol yang manis taunya salah beli teh Jepang yang rasanya pait. Dan sekarang makan makanan favorit dia. Iiigghhh...

Tak berapa lama kemudian saat saya masih ngunyah permen buat melupakan rasa brutu, kakak menelpon dari depan stasiun. Gerimis mulai membesar berganti dengan hujan yang disertai angin sepoi cenderung kencang. Alhamdulillah saya sudah berlindung di dalam mobil. Perlu waktu 3-4 jam lagi untuk sampai di rumah. "Mbok aku muleh...!!"

Jul 21, 2016

Lucunya Punya Saudara Kembar

July 21, 2016 0 Comments
Saya dan Cita adalah saudara kembar beda ibu dan bapak alias cumi. Cuma mirip. Mirip sih hanya kata orang kalo ngaca sendiri menurut saya ga mirip tapi mungkin sekilas iya. Karena kami sama-sama berbadan kecil, ukuran baju sama dan pakai kaca mata. Kebetulan kami sekantor, seruangan dan sekosan. Jangankan orang yang jarang ketemu, bos sendiri yang ketemu setiap hari suka salah. Saya jadi Cita, Cita jadi saya. 

Teman-teman sekantor di ruangan lain juga teramat sering ketuker diantara kami. Awalnya sempat bingung kok tiba-tiba ada yang menyapa akrab banget trus berlanjut cerita nyerocos kemana-mana. Karena ga merasa kenal jadi diem aja. Sering dibilang sombong atau angkuh karena dipanggil ga merespon. Ternyata salah orang.


Dari jauh lumayan mirip kan?

Customer pun juga sering salah. Saya baru saja datang setelah shiftnya Cita atau kadang sebaliknya. Tiba-tiba diajakin ngobrol seakan sebelumnya pernah membahas suatu hal dengan saya.

"Yang tadi pagi itu lho mbak, mbak lihat sendiri kan?"
"Maaf saya baru datang"
"Emang yang tadi pagi bukan mbak?"
"Bukan"

Lucunya lagi saat kantor kami membuatkan ID Card, foto kami sempat tertukar. Di kartu tercetak foto saya nama dan NIKnya tertulis Cita. Atau saat saya mengambil berkas ke bagian SDM sering kali diberi berkasnya Cita. Begitu juga dengan Cita sering diberi berkas saya.

Lain lagi cerita di sekitar kosan. Seperti di warung dan loundry langganan. Saat melihat saya tiba-tiba menyapa "Neng Cita mau beli apa?" atau "Mbak Cita Citata mau nyuci?" Mereka lebih sering menyebut nama Cita. Saya tidak pernah dianggap. Nasib deh.

Soal jalan-jalan liburan saya yang sering diapresiasi biarpun sebenarnya itu buat Cita.
"Kemaren abis dari Lombok ya..?"
"Wah abis dari Kerinci ya... Keren jalan-jalan aja"
Kesannya saya liburan aja ga pernah kerja.

Suatu hari bulan puasa saya dan Cita biasa sholat tarawih di masjid dekat kost. Sering kali bertemu dengan Ibu Dubai. Saya memanggilnya Ibu Dubai karena beliau selalu membawa tas bertuliskan Dubai. Kami sering kali duduk bersebelahan dan beliau sering mengawali pertanyaan dengan,

"Udah kerja neng?"
"Udah bu"
"Oh yg disitu ya..."
"Iya"
Berlanjut ngobrol...
"Kemaren ada temennya yang dari Pacitan itu mana?"
"Saya dari Pacitan bu"
"Lho neng bukan yang dari Bandung?"
"Bukan yang dari Bandung temen saya"
"Wah ibu salah lagi ya, kemaren yang ibu kira dari Pacitan ternyata neng yang dari Bandung" hahaha ada-ada saja...