Feb 26, 2015

Sepenggal Cerita Dari Penang

February 26, 2015 2 Comments
Jam 02.20 dini hari diiringi gerimis kecil saya menggendong ransel yang beratnya lebih dari 7 kg, keluar dari kost menuju ke pangkalan ojek. Mata masih lengket karena baru tidur 2 jam. Tidur juga hanya setengah karena takut kebablasan. Saya akan naik flight pertama jam 06.20 setidaknya 2 jam sebelumnya harus siap di bandara.

Beruntung ada ojek 24 jam yang siap mengantarkan ke pol damri tujuan bandara. Saya masih bisa terangkut oleh bus yang pertama. Di jadwal jam 03.00 tapi kenyataannya jam 03.30 baru berangkat. Itu pun masih ngetem ambil penumpang di beberapa titik. Jam 04.10 baru lancar masuk tol. Jantung dag dig dug karena closing gate jam 05.20. Perjalanan paling cepet pakai ngebut nyalib sana sini ala Michael Schumaker 1 jam lebih. Sedangkan bus umum pastinya lelet, bisa-bisa 2 jam lebih baru sampai.

Sambil gemeteran membayangkan ditinggal pesawat saya utak atik hp mencari web check in. Sebelumnya selalu self check in di bandara, jadi masih coba-coba. Setelah beberapa kali bermasalah akhirnya berhasil. Lega rasanya bisa tidur nyenyak tanpa dibayang-bayangi rasa takut walaupun akhirnya tidak tidur juga.

Jam 05.15 bus damri menurunkan saya di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta. Setelah melewati x-ray di pintu masuk saya segera lari menuju ke mesin self check in untuk cetak tiket. Berkali-kali scan barcode tidak berhasil jadi mundur dulu kasih kesempatan yang di belakang. Belum lama beranjak dari tempat itu datanglah bapak-bapak crew maskapai yang rupanya melihat kebodohan saya lalu membantu scan barcode dan cling... ngek ngek ngek ngeeekk... Keluarlah tiket dari lubang print di mesin itu. Eh kok gampang banget sih… #ndeso.

Setelah tiket di tangan saya ke imigrasi. Tidak ada antrian sama sekali dan “cetok” paspor saya diberi stempel. Masih jam 05.30 alhamdulillah urusan beres. Saya ke mushola untuk sholat subuh, karena musholanya kecil tas ransel saya letakkan di lantai depan mushola. Agak khawatir tapi ya bismillah aja kalau rejeki tidak akan kemana. Benar saja sampai selesai masih tergeletak seperti semula.

Baru duduk sebentar sudah ada panggilan untuk boarding pesawat yang menuju “Pineng” maksudnya “Penang” tapi dibaca enggres. Setelah antri menyobek tiket saya dan semua penumpang diangkut oleh bus ke tempat pesawat parkir. Langit masih sendu tidak tampak sang mentari dan gerimis juga belum berhenti. Ada perasaan lega saat meletakkan ransel dikabin karena beratnya lebih dari 7 kg, melebihi berat maksimal yang diijinkan. Mungkin lebih 1-2 kg. Menggendongnya pundak lumayan pegel.

Saya kebagian seat 22C di sebelah jendela, lumayan bisa mengintip awan tapi tak enaknya kalau mau ke toilet harus mengganggu kursi sebelah. Menunggu take off adalah saat-saat biasanya dikaruniai rasa ngantuk. Safety demo dari mbak pramugari terdengar seperti sayup-sayup mimpi. Tiba-tiba terdengar suara brisik “Ubruk ubruk ubruukkk…” saya kaget sampai melotot dikira ada gempa dahsyat hampir saja teriak maling-maling, rupanya pesawat sedang take off.

Beberapa kali pesawat mengalami guncangan. Pikiran mengembara membayangkan tragedi QZ 8501 yang pada saat itu masih dalam tahap evakuasi para korban. Saya memasrahkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa Insya Allah semua akan baik-baik saja.

Kira-kira 2.5 jam melayang akhirnya pesawat landing di Penang International Airport. Cuaca cerah matahari lumayan menyengat tidak seperti di Jakarta yang sehari-hari hujan. Beres urusan imigrasi saya mampir ke money changer karena belum punya uang ringgit. Biasanya kurs di airport lebih mahal maka hanya menukar 10 SGD sisa jalan-jalan dari Spore hanya untuk ongkos naik bus ke pusat kota. Tak lupa meminta koin karena bus di Penang tidak ada kembalian, harus uang pas.

Sambil agak bingung dan mengabaikan tawaran sopir taksi, saya ucluk-ucluk mencari tempat Bus Rapid Penang. Ada dua bus terparkir tapi entahlah jurusan kemana. Saya akan naik bus 401 atau 401E jurusan Terminal Jetty dan akan turun di Masjid Kapital Keling. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya bus nomer 401 datang. Sebelum duduk harus membayar ongkos dengan memasukkan uang pas ke dalam box seperti celengan yang terletak di samping kursi pak sopir. Ke Masjid Kapital Keling 2.70 RM. Lalu pak sopir akan memberikan selembar tiket kecil.

Bus Rapid Penang

Sebelum duduk harus membayar tambang pakai uang pas dimasukkan ke celengan ini. Gimana mau ambil kembalian kalau begini?

Karena baru pertama kali ke Penang saya duduk di kursi paling depan yang sebetulnya adalah kursi prioritas dan minta tolong pak sopir untuk kasih tau jika sudah sampai di Masjid Kapital Keling. Dikira tidak seberapa jauh makanya tas ransel tetep saya gendong sambil duduk. Lha ternyata kok jauuuhh… banget sampai 1,5 jam belum nyampe-nyampe, pegel juga pundak dan punggung. Secara duduknya hanya separo yang separo buat ransel.

Setelah hampir dua jam bus mulai masuk ke jalan yang kanan-kirinya dipenuhi toko, belok sana belok sini, saya yakin pasti hampir sampai. Mulai deg-degan melihat tulisan “Pastikan Lorong Anda” kenapa sampai ada seperti itu apa banyak yang kesasar? Nah lo.. wes mbuh lah. Benar saja tak berapa lama pak sopir memberi tau untuk turun tapi bukan di depan Masjid Kapital Keling. Di sana tidak ada halte. Bus di Penang tidak boleh berhenti sembarangan. Jadi harus jalan kaki kira-kira 200 meter dengan petunjuk dari pak sopir. Jreng jreeeng ketemu juga masjidnya. Tapi tujuan pertama bukan ke masjid. Itu hanya patokan untuk mencari penginapan yang sudah saya booking yaitu di Red Inn Court. Dari masjid luruuuuss sambil nengok ke kanan. Alhamdulillah ketemu kira-kira 100 meter, tempatnya kecil seperti ruko tapi tulisannya jelas.

Dari luar biasa aja, tapi dalemnya okey dan stafnya ramah.

Penginapan ini selain murah juga lumayan strategis dekat dengan masjid, terminal jetty, pelabuhan, halte bus rapid penang, halte bus hop on hop off dan halte CAT free bus. Sekitarnya juga banyak makanan halal. Saya memilih Red Inn Court hanya random karena semata-mata murah dan punya review yang bagus. Semalem Rp 90.000 per orang include breakfast. Kadang malah diskon jadi Rp 78.000. Saya booking via Traveloka.

Jam masih di angka 10.30 waktu Malaysia sedangkan waktu check in jam 14.00 sehingga saya hanya menitipkan ransel dan numpang ke toilet lalu mulai keliling. Untung bawa payung buntung yang gagangnya patah tapi malah praktis dibawa kemana-mana. Lumayan bisa berlindung karena cuacanya bener bener puanaaaaasss….


St. George’s Church yang bergaya Yunani dibangun pada tahun 1817 oleh East India Company. Disini ada peringatan dilarang foto prawedding, untunglah gak bawa calon suami.

Salah satu karikatur dari besi yang tersebar di berbagai sudut kota tua George Town. Temanya tidak jauh dari keseharian warga yang tinggal di sekitar karya-karya tersebut dipajang.
Museum Coklat
Gedung Mahkamah Tinggi. Banyak gedung yang serupa jadi suasananya mirip di Eropa.

Setelah keliling sampai beberapa kali nyasar ke jalan buntu tiba-tiba kepala saya nyut-nyutan. Sepertinya efek kepanasan. Buntelan P3K ada di dalam ransel yang dititipkan di penginapan. 

Saya masuk ke warung makan yang penjualnya memakai kopyah yang jelas halal. Sebenarnya tidak nafsu makan apalagi warung India dengan bau khas yang saya benci yaitu kari. Berhubung adanya itu ya mau gimana lagi. Saya paksakan makan nasi goreng dan minum teh manis agar pusingnya hilang.

Selesai makan jam 12.30 saya mencari masjid yang tidak jauh dari tempat makan, lupa namanya. Sholat dzuhur masih 1 jam lagi, sehingga saya tiduran di dalam masjid. Kebetulan ruang sholat wanita tempatnya tertutup, jadi bebas selonjoran. Sebenarnya ada larangan untuk tidak tidur di dalam masjid tapi ya mohon maaf sedang butuh berbaring. Entah pusing kena cuaca panas atau capek kurang tidur. Lumayan bisa terlelap sebentar dan pusing pun berkurang. Setelah adzan berkumandang saya mengambil wudhu dan sholat.

Jam 14.00 saya beranjak dari masjid untuk kembali ke penginapan. Walau punya peta tapi bingung bacanya. Tanya ke seorang bapak-bapak yang lewat dengan pedenya nunjukin “Kesana… kesana...” Tapi menurut feeling sepertinya ke arah sebaliknya. Setelah diikuti ternyata bener kembali ke tempat makan yang sebelumnya. Haaisshh... Menyesatkan.

Beruntung bertemu pak cik pengamen gaul yang ternyata tujuannya searah. Pak ciknya keren, berasal dari Perak, pernah keliling Indonesia, pernah tinggal di Belanda, keliling Eropa dan masih banyak lagi. Kata pak cik “Selagi masih muda melanconglah, jangan takut kita tidak sendiri Allah selalu bersama kita dimanapun” Betul Pak Cik. “Kalau wong puteh (orang bule) melancong seorangan saye lihat sudah biase, tapi yang seorangan seperti kamu ini masih sedikit” Ahh Pak Cik gak tau aja. Sebenarnya pengen ikut Pak Cik ngamen tapi berhubung kepala pusing lebih baik check-in ke penginapan, minum obat dan tidur.

Mbak resepsionis yang ramah dan friendly melayani agak lelet. Dikira komputernya bermasalah ealah ternyata ketawa ketiwi sambil chatting di facebook, duh mbak... Masih sambil cekikikan beliau mengambil kunci lalu mengantarkan ke kamar. Kamar saya di lantai 2, berisi 6 orang, 2 dari Swedia, 2 dari Jepang dan 1 dari Australia. Perempuannya saya dan 1 orang dari Swedia. Semua baik, ramah dan punya rasa toleransi yang tinggi. Saat saya butuh password wi-fi dengan senang hati mencarikan sampai ketemu. Mbak resepsionis kelupaan kasih kertas itu, karena asyik chatting.

Menjelang Ashar saya bangun dari tempat tidur. Pusing sudah lumayan hilang dan badan kembali segar. Saya pergi ke masjid dengan membawa barang seperlunya. Bersyukur bisa ikut sholat berjamaah. Selesai sholat saya mengambil beberapa gambar. Banyak turis yang berfoto di depannya, ada juga yang masuk ke dalam. Tentunya bagi yang kekurangan baju (berbaju sexy), dipakaikan jubah sebelum masuk. Jubah-jubah itu memang disediakan buat para turis yang ingin berkunjung.

Masjid Kapital Keling, masjid tertua di Penang. Pertama di bangun pada abad ke-18, kapan itu ya? Yang pasti saya belum lahir. Sampai sekarang usianya sudah lebih dari 200 tahun. Terlihat sepasang turis sedang dipakaikan jubah oleh pengurus masjid di depan pintu. Silahkan masuk... :)

Lalu saya jalan ke pelabuhan ingin mencoba naik kapal ferry dari George Town ke Butterworth, yang katanya perginya gratis kembalinya bayar 1.20 RM. Saya jalan kaki lewat jalan Lebuh Chulia lurus sampai habis. Tak jauh dari ujung jalan disitulah pelabuhannya. Setelah melihat ke dalam ternyata ramai sekali. Banyak yang hendak menyeberang, karena jam pulang kerja. Berhubung males antri saya mengurungkan niat, kebayang juga rasanya paling begitu doank.

Saya berpindah haluan ke Penang Hill (Bukit Bendera). Saya keluar dari pelabuhan dan menuju ke terminal Jetty (Weld Quay) di sebelahnya. Lumayan banyak calon penumpang bus di terminal itu. Bus nomer 204 jurusan Bukit Bendera penumpangnya hanya saya dan 1 kakek-kakek. Tapi di tengah jalan banyak yang naik sampai berjubel. Perjalanan ke Penang Hill cukup lama sekitar 1,5 jam karena sempat macet beberapa kali.

Turun dari bus saya membeli tiket funicular seharga 30 RM untuk pulang pergi, tapi dikembalikan lagi 15 RM, katanya 50%. Waah... Senang jungkir balik ada even apakah? Entahlah karena menjelang maghrib apa karena masih dianggap anak kecil, yang pasti saya diberi tiket dengan kode FC, foreign child. Rejeki anak sholeha.

Saya masih anak-anak
Kota Penang dilihat dari Penang Hill, tampak juga Penang Bride ke-1 dan ke-2. Anginnya lumayan kenceng dan dingin.

Masjid Penang Hill. Sempat sholat maghrib disini sepi banget hanya ada 1 orang penjaga masjidnya, selesai sholat langsung ngacir takuutt...

Funicular, lumayan deg-deg saat di tanjakan curam. Mematung seperti robot tidak berani menoleh ke belakang. Tapi asyiknya tuh disituuu... Lebih asyik lagi pas turun saya duduk paling depan wooww...

Memandang kota Penang dimalam hari tampak indah. Gemerlap lampu bagaikan hamparan bintang. Tapi semakin malam semakin dingin dan saya lupa membawa jaket. Lebih baik segera turun dari pada kena marah nenek. Sampai di bawah sudah ada bus nomer 204 yang siap jalan. Hampir saja ketinggalan. Lari-lari bersama turis Korea, Jerman dan Thailand sambil teriak "Waaaiiitttt....".

Begitulah hari pertama di Penang, hari berikutnya saya berkeliling menggunakan bus Hop On Hop Off. Saat beli tiket sok bercakap-cakap pakai bahasa Malaysia mengikuti logatnya Upin Ipin siapa tau dikasih harga lokal eh malah ditanya "You local or foreign?" Hmmm... Cempluk!! Lumayan harga lokal hanya 19 RM sedangkan harga foreigner 45 RM, 2 kalinya masih lebih pemirsa. Berlaku selama 24 jam tapi bus hanya beroperasi dari jam 09.00 sampai jam 20.00 jadi ya tidak full 24 jam. Okey lah tidak apa-apa sesekali jangan menggembel. Kata temen se-bus orang asli Penang "Murah ye 19 RM buat 24 jam". Iya buat lo... Lihat ya lo datang ke negara gw, gw mahalin ntar.

Ini penampakan busnya.

Ada dua rute yaitu line warna orange city route dan warna hijau beach route, seperti yang terlihat pada map berikut ini.  
 

Buat yang tidak banyak waktu dan tidak mau ribet sangat recommended naik bus ini. Sepanjang jalan crew bus akan bercerita menerangkan sesuatu yang dilewati. Bisa turun dimana saja dan naik lagi bus sejenisnya selama tiket masih berlaku.

Katanya ke Penang tidak lengkap kalau belum mencoba nasi kandar. Bayangan saya seperti nasi padang atau nasi uduk tapi lebih mewah. Beberapa tempat penjualnya selalu berwajah India. Dari jauh tercium aroma kari. Saya paling benci bau kari. Makanya mencari penjual berwajah lokal tapi tidak ketemu. Akhirnya ya ada saja di depan Masjid Kapital Keling. Kebetulan cumi dan udangnya guede-gede. 

Baru juga nunjuk cumi, mas Rahul Khan Vijay Kumar dengan cekatan mengambilkan nasi sepiring dan pyuk pyuk disiram kari buanyaaakk... Sampai warna putih nasinya tidak kelihatan. "NOOO...!!!" Aakhh udah ga keburu. Mak plenggong!! Ternyata itulah yang dimaksud nasi kandar, nasi disiram kari. Ternyata tidak semua makanan khas harus dicoba tapi berhubung sudah dibeli ya dihabiskan walau sambil bergidik-gidik.


Udangnya selebar telapak tangan, gak usah ngiler rasanya biasa aja, SUER.

Sorenya saya menyempatkan diri ke Gurney Drive untuk mencoba makanan di Anjungan Gurney yang buka dari jam 5 sore. Katanya surganya makanan. Saya memesan mie jawa dan es kelapa, memang enak sih tapi begitu dicicipi rasanya seperti masakan India bau kari. OMG!! I HATE CURRY... Berhubung sudah dibeli ya disyukuri apa yang ada... Tapi maaf tidak kuasa menghabiskan. Jadi inget kemaren baru datang kepala pusing, jangan-jangan mabok kari.

Mie jawa di Anjungan Gurney, suka dengan telur rebusnya.

Selesai makan jam 19.15 saya kembali ke halte yang tidak jauh dari Anjungan Gurney. Ada 1 bus hop on hop off terparkir tapi sudah berhenti beroperasi. Waakks.. Jadi harus jalan kaki lewat jalan sepi dan gelap ke tempat yang ditunjukkan oleh orang entah jalan apa karena Anjungan Gurney tidak dilewati bus Rapid Penang. Di halte ada turis Eropa berbadan gendut ngajak ngobrol dan ujung-ujungnya pengen datang ke penginapan saya. Halah, No !!

Feb 11, 2015

Post Holiday Blues

February 11, 2015 0 Comments
Saya baru saja kembali dari liburan “solobackpacking” selama 10 hari. Menghabiskan sisa cuti tujuh hari digabungkan dengan libur tiga hari. Lumayan lama buat yang jatah cutinya hanya 12 hari setahun seperti saya. Saya mengambil rute Jakarta - Penang – Langkawi – Satun – Trang –Krabi – Phi Phi Island – Phuket - Bangkok – Jakarta. Hanya dua negara Malaysia dan Thailand tapi dijabanin dengan jalur darat dan air (naik ferry) kecuali berangkat dan pulang ke Jakarta pastinya lewat udara. 

Saya berangkat dengan flight pertama jam 06.00 dan pulang dengan flight terakhir jam 23.30 agar 10 hari terasa full. Biarpun begitu 10 hari ternyata sangat sebentar sekali. Gimana tidak sambil liburan sering dibayangi rasa sedih karena menghitung hari, 2 hari lagi, sehari lagi dan sebentar lagi pulang. Artinya harus kembali lagi bekerja.

Narsis sebelum naik ferry dari Langkawi ke Satun

Rupanya masih ada sesuatu yang terasa lebih berat lagi dan susah untuk menghilang adalah ‘penyakit’ sehabis liburan. Ya, penyakit ini saya sering merasakannya. Bahasa kerennya setelah saya browsing di google disebut Post Holiday Blues (Irlandia dan beberapa negara persemakmuran) atau Post Vacation Blues (Kanada dan US). Post Holiday Blues adalah semacam kondisi depresi yang terasa setelah seseorang kembali dari perjalanan panjang (biasanya liburan) yang dapat mempengaruhi mood. Setiap orang yang menyandu wisata pasti mengalami hal ini. Ada perasaan seolah tidak berminat kembali ke rutinitas hidup, entah sekolah, bekerja atau kehidupan sehari-hari yang bisa jadi merupakan sumber stres, disorientasi dan ketidaknyamanan. Seolah merasa tidak betah berlama-lama menetap, selalu ingin beperjalanan (Astri Apriyani/Intisari-online.com).

Saya sering mengalami hal ini dan lebih lama dari pada waktu liburannya. Setiap tidur masih kebawa mimpi perasaan masih disana, bangun tidur suka bingung ini dimana, bingung mau ngapain, teringat kembali kemarin jam segini disana lagi ngapain. Kangen dengan teman-teman baru selama diperjalanan tapi siapa mereka dan dimana sekarang. Sedih pengen nangis tapi apa yang mau ditangisin, pengen balik lagi. Bah, seabrek lah pokoknya pikiran susah berhenti melayang.

Efeknya jadi males makan, pengen nyungsep aja ke bantal walaupun ga ngantuk dan sering lupa. Lupa makan tau-tau gemetaran, lupa hari, lupa pakai seragam warna apa harusnya biru pakai merah, bikin teh manis yang diambil garam, bikin telor ceplok yang diambil gula. Kucrut kan. Ini masih mending dibanding teman saya yang sampai lupa pin atm dan password pc di ruang kerjanya. Secara hati dan pikiran masih di tempat liburan tapi jiwa raga telah terperangkap di tempat kerja. Mohon maklumlah.

Kabar baiknya adalah bahwa perasaan seperti ini konon normal-normal saja dan bisa dibilang pasti muncul setelah liburan, apalagi kalau liburannya menyenangkan. Setelah satu atau dua minggu pasti akan kembali seperti semula, kata psikolog durasi rata-rata Post Holiday Blues adalah satu setengah kali lipat dari lama liburan. Memang benar saya merasakan liburannya cuma sebentar tapi kepikirannya lama banget ga ilang-ilang.

Salah satu cara yang paling mujarab untuk menghilangkannya yaitu merencanakan liburan lagi walaupun pada akhirnya hanya rencana belaka, atau liburan ke tempat yang berdekatan dengan rumah dan murah meriah seperti camping di kebun. Selain itu gerakan bersih-bersih kamar juga penting karena berantakan semakin menambah pusing. Membongkar ransel, mencuci semua baju kotor dan menyimpan lagi ke tempat semula seperti sebelum liburan. Jika pernah bertukar email atau nomer telpon dengan teman-teman baru coba hubungi mereka untuk sekedar say hello. Menulis blog dan diary untuk sekedar meluapkan segala kagalauan. Nah yang paling penting ini sholat, dzikir, ngaji agar pikiran bisa kinclong lagi. Pelan-pelan hehehe...

Feb 10, 2015

Backpacking Ke Khaosan Road

February 10, 2015 2 Comments

Perjalanan saya ke Bangkok kali ini berawal dari Phuket yaitu naik bus malam dengan lama perjalanan 12 jam. Bus berhenti terakhir di Terminal Mochit 2 yang letaknya 10 km dari pusat kota Bangkok. Karena berencana menginap di daerah Khaosan sehingga saya harus mencari angkutan yang menuju kesana. Menurut hasil browsing dari Terminal Mochit 2 ke Khaosan bisa menggunakan bus kota nomer 59 jurusan Sanam Luang.

Khaosan Road adalah pusatnya backpacker di Bangkok, karena akomodasi dan fasilitas yang ada di daerah ini bener-bener ramah di kantong. Banyak sekali penginapan murah mulai dari hostel, guesthouse hingga hotel yang harganya berkisar antara 50 ribu hingga 500 ribu per malam. Khaosan Road juga dekat dengan atraksi terkenal di Thailand seperti Grand Palace, Wat Po dan Wat Arun sehingga bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Jam 07.00 waktu setempat saya baru tiba dari Phuket. Setelah turun dari bus saya bermaksud mencari bus nomer 59 tapi dimana tempatnya? Saya bingung apalagi sebentar-sebentar diikuti dan ditanya oleh sopir taksi dan van dengan bahasa Thailand "ciek lai ciek lai.. cing cong kha khuo...??"

Setelah mencari kesana kemari akhirnya terdampar di tempat parkir van yang tulisannya keriting semua. Saya bertanya ke seseorang yang sedang duduk di ruang tunggu tapi ternyata tidak bisa bahasa Inggris. Dengan bahasa tubuhnya beliau menyarankan saya untuk bertanya ke crew van dan rupanya tidak bisa bahasa Inggris juga. Lalu saya diantarkan ke temannya. Barulah dapet angin segar, dikasih tau tempat city bus parkir dan disarankan naik bus nomer 3 ke Khaosan Road.

Setelah sedikit nyasar akhirnya ketemu juga. Banyak sekali bus dengan tulisan keriting semua. Tapi platform di depannya tertulis dengan jelas nomer bus dan masing-masing jurusannya. Salah satunya adalah bus nomer 3 jurusan ke Klongsan yang melewati Khaosan Road.

Saya naik bus nomer 3 dengan perasaan bingung gimana bayarnya, duluan atau belakangan. Ibu kondekturnya hanya diem. Ya sudahlah duduk aja. Busnya jelek eprek-eprek seperti metro mini di Jakarta tapi lebih besar. Di dalam bus baru ada 2 penumpang yang sama-sama membawa ransel segede gaban dari percakapannya seperti orang China.

Tak berapa lama ada beberapa penumpang lagi dan bus mulai berangkat. Ibu kondektur mulai berkeliling sambil membawa kencleng mendatangi penumpang satu per satu. Hampir semua bus di sana kondekturnya ibu-ibu. Saya curi-curi dengar turis China di sebelah juga akan turun di Khaosan Road, jadi kinclong mata saya karena ada barengannya. Tiba giliran saya menyodorkan uang 100 THB karena tidak tau berapa ongkosnya, ibu kondektur langsung pergi begitu saja. Rupanya uang saya kegedean. Lalu saya tanya ke turis China yang katanya ongkos ke Khaosan Road hanya 6.50 THB. Wah murah banget. Saya mencoba menukarkan uang ke turis China itu tapi malah dikasih uang koin 7 THB. Setelah mengubek-ubek kantong, saya masih nemu 5 THB jadi yang 5 THB saya kembalikan lagi.

Sepanjang jalan saya waspada melihat ke kanan kiri jalan mencari tulisan Khaosan Road. Setiap kali bus berhenti saya lirik-lirikan dengan turis china di sebelah saling bertanya menggunakan bahasa isyarat “Udah sampai belum?” dan kami hanya bisa geleng-geleng. Saya beranikan diri tanya ke ibu kondektur “Khaosan Road?” Ibu menjawab dengan mantab “NO..!!” Sepertinya masih jauh sekali.

Penumpang bus naik turun silih berganti dari yang penuh kosong penuh lagi kosong lagi, macet beberapa kali belum nyampe-nyampe. Saya sampe ngantuk dan ketiduran berkali-kali. Yang bikin heran segitu jauhnya ongkos hanya 6.50 THB sekitar Rp 2500. Lebih mahal di Jakarta yang rata-rata Rp 4000.

Setelah menempuh perjalanan selama 1.5 jam akhirnya ibu kondektur berteriak ke arah saya dan turis China “Khaosan Road... Khaosan Road…” Dan benar saja di pinggir jalan ada petunjuk Thanon Khao San. Sampai juga di tempat yang katanya surganya para backpacker. Jalan Khaosan masih sepi belum banyak pedagang maupun kafe yang buka. Malahan banyak orang yang menggendong ransel seperti saya ada yang baru datang mencari-cari penginapan, ada juga yang sudah cek out.

Tiba waktunya mencari penginapan yang sudah saya booking sebelumnya. Yaitu 3HOWw Hostel. Rupanya saya lupa mendownload petanya tapi masih ingat letaknya di luar jalan Khaosan. Yaitu belok belok dan belok. Nah yang mana belokannya? Coba tanya ke orang lewat sambil menunjukkan Hp, hasilnya nihil. Ada satu bapak-bapak yang semangat membawa saya masuk ke gang. Setelah sampai di jalan yang besar lagi beliau kasih tau dengan bahasa isyarat “Cari saja di sepanjang jalan ini” Lah... Kirain tau…!!

Tiba-tiba ada bapak-bapak berbaju Tourist Police menyapa saya dengan ramah.

"Hello... What are you looking for” Setelah saya tunjukkan Hp bapak itu bilang mau mengantarkan pakai tuk tuk dengan ongkos 100 THB. Rupanya sopir tuk tuk. Langsung saya tinggal pergi. Daripada naik tuk tuk segitu mending cari penginapan lain. Karena walaupun sudah booking saya belum membayar apa-apa jadi masih bisa pindah ke penginapan mana aja. Saya penasaran karena hostel itu reviewnya bagus.

Saya bertanya ke bapak yang berseragam security dan dikasih tau dengan jelas. Masih penasaran tanya lagi ke beberapa pedagang dan ternyata memang benar berjarak sekitar 700 meter. Ketemu juga deh. Hostelnya nyaman dan lingkungannya sepi. Waktu cek in masih jam 2 siang saya diperbolehkan istirahat di sofa depan TV di lantai 2 dan juga numpang mandi.

3HOWw Hostel kalau ga kebaca yang tengah catnya warna hitam. Recommended deh.

Setelah tidur-tiduran sesaat saya berkenalan dengan turis China bernama Summer yang juga baru datang dan belum bisa cek in. Tapi sudah mandi sudah berbaju rapi dan siap pergi. Dia bilang ini baru pertama kali ke luar negeri. Segepok map dan print-print’an hasil download dengan sibuk dia buka berkali-kali dan sesekali masih mencatat sesuatu di buku.

“Where are you going?” tanya saya
“I want to go Glend Paris”

Emang ada ya tempat wisata di Bangkok namanya Glend Paris? Saya yang ga tau atau beda penyebutan. Ya orang China pelafalan "R" dan "L" suka kebalik.

“Do you mean the Grand Palace?”
Sambil bingung tapi jawab “Yes" lalu menunjuk ke map dan benar saja yang ditunjuk adalah Grand Palace. Lama-lama ngakak juga ngobrol sama dia, nyerocos aja walaupun bahasa Inggrisnya memble kya saya.

Ada satu lagi cowok dari London bernama Simon yang sama-sama baru datang. Nah kalau ngobrol sama dia bikin ciut karena bahasa Inggrisnya licin banget. Dia bekalnya buku Lonely Planet. 

Hanya saya yang cuma modal ucluk-ucluk kalau nemu wifi baru browsing-browsing. Setelah ngobrol-ngobrol akhirnya kami bertiga sepakat untuk jalan bareng ke Grand Palace. Summer yang sudah siap harus menunggu saya dan Simon. Sabar ya Mer kita mandi dulu...

Bagaimana kisah selanjutnya beberapa sudah saya ceritakan disini Hati-hati Penipuan di Bangkok