Jul 22, 2016

Mudik Lebaran

July 22, 2016 0 Comments
Mudik lebaran setahun sekali merupakan moment yang tak ingin dilewatkan oleh umat muslim tak terkecuali saya. Macet berjam-jam seakan menjadi keistimewaan tersendiri yang harus dinikmati dan menjadi cerita kenangan saat sampai di kampung halaman. Sampai muncul istilah kalau ga macet bukan mudik.  

Saya pernah merasakan terjebak macet saat mudik lebaran H-3 ke Pacitan. Waktu tempuh yang biasanya sekitar 15 jam, jadi melar sampai 32 jam. Dan itu rasanya tersiksa. Pantat panas, kaki kesemutan kelamaan menggantung dan badan pegel ga bisa dilurusin selama perjalanan. Akibatnya jadi mikir lagi jika harus mudik mendekati hari H lebaran. Kalau ga pakai pesawat atau kereta mending ditunda sampai setelah lebaran. Jalanan biasanya melompong bisa ngebut kya Valentino Rossi dan nyampe lebih cepat dari biasanya. Mau pake pesawat juga tiketnya murah.

Lebaran tahun ini saya diajak mudik bareng kakak di H-4. Tapi karena jadwal kerja yang ga bisa diutak-atik lagi, jadilah hanya bisa gigit jari ditunda setelah lebaran. Ngintip tiket pesawat udah pasti mahalnya berlipat dari harga standar. Baiklah ga apa-apa lebaran di mana-mana sama aja. Yang penting bisa sholat Ied.

Namun akhirnya saya jadi bersyukur, ternyata kakak terjebak macet yang super di jalur neraka (orang menyebutnya itu) atau bahasa kerennya Brexit, Brebes Exit. Total 3 malem 2 hari baru sampai di kampung halaman. Kalau jadi bareng, baru nyampe rumah saya harus balik lagi karena liburnya hanya sebentar. Syukurlah saya diselamatkan dari kemacetan paling parah sedunia itu.

Demi memaksimalkan libur yang hanya 4 hari saya memilih mudik naik pesawat ke Jogja. Dari Jogja saya berencana nyambung travel ke Pacitan yang berangkat tiap 3 jam sekali. Saya pilih flight jam 10.00 WIB agar bisa naik travel yang jam 12.00 WIB. Berangkat ke airportnya juga ga pagi-pagi banget.

Pesan nasi goreng dulu di Bakmi GM, boarding passnya kok jadi sederhana banget sih kya struk indompret

Saya berangkat dari Cilegon naik Bus Damri 4,5 jam sebelumnya agar waktunya longgar. Taunya sampe bandara pesawat murah air itu delay. Katanya 50 menit kenyataannya jam 12.30 WIB baru take off. Lumayan lah dapet roti sama aqua gelas sebagai kompensasi. Nah kacau deh jadwal travel selanjutnya, harus menunggu lagi yang jam 15.00 WIB. Tau gitu kan... ambil flight yang agak siang sekalian. Hiks! Yo wes gapapa masih lebih baik dari pada kena macet di tol Brenxsek Brexit.

Selesai urusan bagasi saya telpon kakak yang ternyata saat itu sedang perjalanan ke Solo ada urusan apa entahlah. Saya disuruh menyusul ke Solo naik bus atau kereta. Karena kurang pengalaman saya males lebih tepatnya ga gitu berani hihihi... Saya orangnya penakut. Jadi ya tetap akan menunggu travel yang tinggal satu setengah jam lagi.

Setelah sholat saya mencari tempat yang nyaman untuk membunuh waktu. Masih tersisa sebuah kursi di seberang mushola untuk menikmati hirup pikuk bandara Jogja. Baru juga duduk semenit tiba-tiba ada mas-mas sebut saja Nicholas yang duduk bersebelahan, minta tolong untuk berbagi wifi. Nicholas asli dari Solo baru saja pulang dari China dan akan menghubungi teman yang akan menjemputnya.

Berlanjut curcol. Saya disarankan Nicholas untuk menyusul kakak ke Solo naik kereta yang katanya ada setiap jam. Naik dari stasiun yang masih terhubung dengan bandara tinggal jalan kaki selemparan kolor. Lalu saya menelpon travel ke Pacitan yang ternyata masih bisa dibatalkan. Jadilah berubah haluan saat itu juga. 

Saya tarik koper menuju stasiun lewat lorong bawah tanah mengikuti papan petunjuk. Sampai di stasiun antrian lumayan panjang dan ternyata kereta ke Solo yang jam 15.00 WIB habis, ada lagi jam 18.00 WIB. Nah lo katanya ada tiap jam... Mana travel udah dibatalin, ga enak donk mau balikan lagi.

Saya bertemu dengan Tante Enik yang juga mau ke Solo. Sama-sama galau antara menunggu sampe jam 6 sore atau cari alternatif yang lain. Akhirnya kami mencoba untuk sharing mencari taksi, tapi ternyata mahal-mahal. Lalu kami balik ke bandara ke pintu keberangkatan berharap ada taksi Solo yang melintas, barang kali bisa lebih murah. Beberapa taksi yang lewat menawarkan harga yang kurang lebih sama mahalnya antara 400-500 ribu. Berhubung ga buru-buru kami masih bersabar menunggu keajaiban semoga masih ada yang lebih murah.

Saat ngobrol dengan sopir taksi tiba-tiba ada mas-mas sebut saja Rangga dan Mamet yang datang dari Solo mengantar temannya yang akan terbang ke Lombok. Mendengar percakapan kami Rangga menawarkan untuk bareng ke Solo karena mobilnya kosong. Waahh gayung bersambut rembulan. Ga enak tapi terpaksa tapi mau, ya udahlah naik aja. Kami berniat mengganti ongkos bensin tapi Rangga menolak. Terimakasih Rangga. Terimakasih Mamet. Semoga Rangga awet dengan Cinta dan Mamet dengan siapa aja.

Kurang lebih 1.5 jam setelah menerobos sedikit kemacetan sampailah kami di Solo. Saya dan Tante Enik turun di Stasiun Purwosari. Sebenarnya Rangga siap nganter kemana aja tapi kami tidak mau merepotkan. Cukup turun di tempat yang dilewati aja. Tante Enik lanjut mencari taksi ke rumahnya. Saya tetap di depan stasiun menunggu kakak yang saat itu masih terjebak macet di Solo Baru.

Di depan stasiun nongkrong sebuah gerobak angkringan dengan berbagai macam makanan. Berhubung pengen ngemil saya comot sate usus lalu tempe mendoan, tahu dan putih telur goreng. Ada lagi sate ayam yang bikin penasaran, warnanya kuning-kuning merona, tapi bukan daging seperti tulang muda tapi campur daging. Entahlah itu potongan bagian mana. Saya lagi ga pengen makan ayam tapi dari pada penasaran ambil 1 tusuk. Potongannya lumayan besar ada 6 biji. Rasanya pun ga mengecewakan, seperti daging tapi agak keras kenyal-kenyal dan ada sedikit tulang muda. Sambil melahap sate saya minta pak penjual menghitung habis berapa semuanya.

Saat menunggu uang kembalian saya perhatikan sate yang tinggal sepotong lagi, daging apa sih kok enak. Gubrraaakkkkk... Rupanya brutu (pantat ayam) Huueeekkk... Seketika jadi mual. Segala kenikmatan luntur karenanya. Enak sih emang tapi jijik. Huaaaa.... Menyesal..!!! Langsung teringat temen sebut saja Isyana. Dulu suka ngledekin dia karena suka banget minum teh botol dan makan brutu, eh suatu hari pas saya lagi pengen-pengennya teh botol yang manis taunya salah beli teh Jepang yang rasanya pait. Dan sekarang makan makanan favorit dia. Iiigghhh...

Tak berapa lama kemudian saat saya masih ngunyah permen buat melupakan rasa brutu, kakak menelpon dari depan stasiun. Gerimis mulai membesar berganti dengan hujan yang disertai angin sepoi cenderung kencang. Alhamdulillah saya sudah berlindung di dalam mobil. Perlu waktu 3-4 jam lagi untuk sampai di rumah. "Mbok aku muleh...!!"

Jul 21, 2016

Lucunya Punya Saudara Kembar

July 21, 2016 0 Comments
Saya dan Cita adalah saudara kembar beda ibu dan bapak alias cumi. Cuma mirip. Mirip sih hanya kata orang kalo ngaca sendiri menurut saya ga mirip tapi mungkin sekilas iya. Karena kami sama-sama berbadan kecil, ukuran baju sama dan pakai kaca mata. Kebetulan kami sekantor, seruangan dan sekosan. Jangankan orang yang jarang ketemu, bos sendiri yang ketemu setiap hari suka salah. Saya jadi Cita, Cita jadi saya. 

Teman-teman sekantor di ruangan lain juga teramat sering ketuker diantara kami. Awalnya sempat bingung kok tiba-tiba ada yang menyapa akrab banget trus berlanjut cerita nyerocos kemana-mana. Karena ga merasa kenal jadi diem aja. Sering dibilang sombong atau angkuh karena dipanggil ga merespon. Ternyata salah orang.


Dari jauh lumayan mirip kan?

Customer pun juga sering salah. Saya baru saja datang setelah shiftnya Cita atau kadang sebaliknya. Tiba-tiba diajakin ngobrol seakan sebelumnya pernah membahas suatu hal dengan saya.

"Yang tadi pagi itu lho mbak, mbak lihat sendiri kan?"
"Maaf saya baru datang"
"Emang yang tadi pagi bukan mbak?"
"Bukan"

Lucunya lagi saat kantor kami membuatkan ID Card, foto kami sempat tertukar. Di kartu tercetak foto saya nama dan NIKnya tertulis Cita. Atau saat saya mengambil berkas ke bagian SDM sering kali diberi berkasnya Cita. Begitu juga dengan Cita sering diberi berkas saya.

Lain lagi cerita di sekitar kosan. Seperti di warung dan loundry langganan. Saat melihat saya tiba-tiba menyapa "Neng Cita mau beli apa?" atau "Mbak Cita Citata mau nyuci?" Mereka lebih sering menyebut nama Cita. Saya tidak pernah dianggap. Nasib deh.

Soal jalan-jalan liburan saya yang sering diapresiasi biarpun sebenarnya itu buat Cita.
"Kemaren abis dari Lombok ya..?"
"Wah abis dari Kerinci ya... Keren jalan-jalan aja"
Kesannya saya liburan aja ga pernah kerja.

Suatu hari bulan puasa saya dan Cita biasa sholat tarawih di masjid dekat kost. Sering kali bertemu dengan Ibu Dubai. Saya memanggilnya Ibu Dubai karena beliau selalu membawa tas bertuliskan Dubai. Kami sering kali duduk bersebelahan dan beliau sering mengawali pertanyaan dengan,

"Udah kerja neng?"
"Udah bu"
"Oh yg disitu ya..."
"Iya"
Berlanjut ngobrol...
"Kemaren ada temennya yang dari Pacitan itu mana?"
"Saya dari Pacitan bu"
"Lho neng bukan yang dari Bandung?"
"Bukan yang dari Bandung temen saya"
"Wah ibu salah lagi ya, kemaren yang ibu kira dari Pacitan ternyata neng yang dari Bandung" hahaha ada-ada saja...