Oct 27, 2018

Antara Fethiye Dan Sergiev Posad

October 27, 2018 0 Comments
Dihari blogger nasional tanggal 27 Oktober ini setidaknya pengen ngepost 1 judul cerita. Sayangnya lagi mampet gak ada yang mengalir. Karena gak rela kalau hari ini dilewatkan begitu saja maka saya akan menumpahkan sedikit kenangan yang masih tersimpan di jidat yang jika diingat serasa ingin kembali mengulang ke masa itu. Biasalah saat-saat pencitraan di negeri sebrang, di pinggiran 2 kota yang menyimpan kerinduan teramat dalam. Halah sok melankolis. Pokoknya mah yang penting nulis biar hari ini punya peninggalan prasasti.

Judulnya mengenang 2 kota yang tidak ada hubungannya. Pertama saya merindukan Fethiye adalah kota kecil di Propinsi Mugla Turki yang bisa ditempuh menggunakan bus dari Istanbul selama 12 jam atau pesawat selama 50 menit. Disinilah saya merasakan realitas orang Turki. Penduduk lokal sangat ramah, helpfull dan menghargai orang asing. Di sepanjang jalan, di toko dan supermarket saya sering jadi pusat perhatian selayaknya selebritis lewat. Biasanya saya yang gak kedip lihat orang cakep. Kali ini saya yang diliatin orang-orang cakep. Kalau di negeri sendiri mah boro-boro, demit aja buang muka. Banyak kesempatan buat kenal lebih dekat dengan warga lokal namun sayangnya terkendala oleh bahasa.

Kedua saya merindukan suasana di Sergiev Posad. Kota kecil yang berjarak sekitar 74 km dari Moskow Rusia. Bisa ditempuh menggunakan kereta selama 1,5 jam. Disini saya juga merasa asing dan disambut hangat oleh penduduk lokal walaupun terkendala bahasa. Banyak yang menyapa dengan senyum ramah seperti tertarik pengen ngobrol. Kalau di Turki karena mayoritas penduduknya muslim, sering memulai dengan sapaan "Assalamu'alaikum" sedangkan di Rusia dengan "Ksndvfhfbvdhajskhg (bahasa Rusia) yang artinya mungkin "Hallo, Hai, Where are you from atau sejenisnya. Penduduk di Rusia mayoritas beragama kristen ortodoks.


 Sergiev Posad merupakan rumah bagi Lavra Trinitas dari Santo Sergius, biara ortodoks tingkat tinggi dan paling penting di Rusia. Sebagian besar orang Rusia melakukan perjalanan spiritual ke gereja ini.

Ada hal yang mengingatkan saya ke kampung halaman saat di Fethiye. Siang itu saya bersepeda keliling kampung. Ada anak kecil pulang sekolah dijemput oleh ibunya. Pakaiannya sederhana sekali sama seperti orang-orang di kampung saya. Pulang jalan kaki ke rumahnya yang sangat kecil dan terbuat dari papan. Di tengah jalan sang ibu memetik buah murbei yang berwarna hitam untuk anaknya. Sama seperti saya dan teman-teman kala kecil, cemilan dari alam selalu menggantikan cemilan buatan pabrik yang tak pernah dibelikan oleh orang tua. Sepanjang jalan di Fethiye banyak tumbuh pohon murbei.

Menuju kedua kota ini sama-sama penuh perjuangan. Terutama masalah roaming bahasa. Saat ke Fethiye dari Pamukkale saya dan Amel naik bus yang ternyata standar ekonomi kelas bawah. Setiap saat setiap waktu mencari penumpang tambahan di tiap kota. Sama seperti bus dari Solo ke Pacitan. Seharusnya ada bus yang pelayanannya lebih bagus. Tidak banyak berhenti, dapat snack dan tempat duduknya lebih nyaman. Ya maklumlah asal pilih, masih mending obrolan bisa nyambung dengan penjual tiket. Sopirnya mas-mas gagah, ganteng perpaduan antara David Beckham dan Ronan Keating. Sering banget ngajak ngobrol tapi sama sekali gak ngerti karena pakai bahasa Turki tulen tidak ada Inggrisnya sedikitpun. Setiap kali bus berhenti, mendatangi tempat duduk saya tanya sesuatu dan saya hanya bisa menjawab sorry sambil geleng-geleng. Sesekali mengangguk "Betul mas saya masih jomblo". 

Ke Sergiev Posad saya pergi bersama mbak Anna Khristy. Perjuangan dimulai sejak dari Moscow di Stasiun Yaroslavsky. Stasiunnya luas, loketnya banyak dan tidak ada huruf latin sama sekali. Semua petunjuk ditulis dengan huruf cyrillic. Awalnya berniat mengcapture menggunakan google translate sambil menyamakan bentuk tulisan. Tapi saking luas dan pusingnya jadi menyerah. Beberapa kali tanya ke petugas tidak membuahkan hasil. Lalu memberanikan diri tanya ke mas-mas yang sedang mengantri di salah satu loket "Excusme, Sergiev Posad?" sambil pura-pura ikut antri di belakangnya. Masnya ngobrol dengan temannya lalu temannya menyuruhnya mengantar kami ke loket yang benar. Tampaknya mereka tau betul ditunjukkan sedemikian rupa pun gak bakal ngerti.

Letak loket lumayan jauh di ruang sebelah melewati beberapa loket yang lain. Kami membeli tiket pulang pergi. Tak lupa tanya ke ibu petugas, "Bu apa tiket pulangnya bisa dipakai jam berapapun?" Ibu mengangguk sebentar lalu sibuk mentutak-atik hpnya. Kami menunggu dengan sabar sambil melirik ke antrian memanjang di belakang memberi kode minta maaf gara-gara kami jadi makin lama. Mereka pun tersenyum ramah. Rupanya ibu petugas mentranslate ke bahasa Inggris yang artinya tiketnya fleksibel bisa dipakai jam berapa saja pada hari ini. Spasibo ibu... (Terimakasih).

Tiket Kereta

Setelah mendapatkan tiket, mencari parkiran kereta juga membingungkan. Ada 8 jalur dan tulisannya keriting semua. Karena Sergiev Posad bukan tujuan terakhir jadi tidak tertulis di papan pengumuman. Kami naik ke salah satu kereta berdasarkan feeling kira-kira dan nguping ke sebelah. Keretanya sama persis seperti di Indonesia saat pedagang asongan masih diperbolehkan masuk. Mulai dari jualan payung, pulpen, bedak, es krim, buah, chiki, permen, buku mewarnai dan masih banyak lagi. Ada pula sekelompok pengamen yang membawa gitar atau biola. Pemandangan di luar kereta tampak ladang dan rumah kecil-kecil terbuat dari kayu dengan pintu yang sangat pendek. Seperti rumah-rumah di film kartun Masha and the Bear. Lebih kecil dari rumah sederhana di Indonesia.


Penjaga toko di dekat stasiun Sergiev Posad. Saat saya datang hanya mbak dan bapak paling pinggir yang ada. Tiba-tiba bapak memanggil temannya yang di tengah sambil senyum-senyum meledek dari bahasa tubuhnya seperti mengatakan begini "Hei Paimin ada yang nyari kamu tuh" Lalu saya dan masnya saling berpandangan bengong. Mbak Anna Khristy ikutan nyeletuk dari belakang "Dia mau jodohin kamu tuh..." Oooh boleh deh.

Di luar pintu stasiun Sergiev Posad berjajar 3 lansia berjualan jamur. Kata nenek yang paling kiri sambil menunjukkan angka di kalkulator, harganya 100 rubel. Seplastik lumayan besar. Saya pengen beli untuk campuran indomie rebus tapi terlalu banyak. Coba mengetik 50 dan beliau semua menggeleng dengan raut muka berubah seketika dikira menawar. Kalau dirupiahkan hanya 40 ribu itu murah banget dibanding di Jakarta, masak mau ditawar. "Saya beli 50 aja nek terserah dikasih seberapa?" sambil menggerakkan tangan menjelaskan sebisa mungkin dengan bahasa yang saya bisa. Mulai dari Inggris, Jawa, Sunda dan Indonesia, semua tidak berhasil. Sumpah kali ini susah banget. Sampai garuk-garuk kepala, gigitin bibir dan motekin kuku sampai berdarah semua tidak berhasil menerjemahkan bahasa Tarzan.

Selain memang pengen, kasian juga kalau tidak dibeli. Sudah jam 7 malem di udara bersuhu minus 5, dagangannya masih banyak dan jarang orang yang menghampiri. Disaat akan menyerah nenek yang berada di tengah yang dari awal lebih kalem tiba-tiba meluluh. Beliau mengangguk dan ngomong bahasa Rusia sambil menggantungkan seplastik jamur di timbangan manual di tangan. Kata beliau begini "Lihat nih 1/4 kilo ya neng baiklah gak apa-apa 50 rubel aja" sambil tersenyum baik banget. Segera saya bayar 50 rubel lalu saya kembalikan lagi sebagian jamurnya ke baskom nenek "Maksudnya segini nek, separo aja..." Saya angkat tinggi-tinggi plastiknya saking terasa lega MAK PLONG. Beliau bertiga keheranan, tatapan matanya mengatakan "Oalaaah beli separo toh neeng..." 

Akhirnyaaaa si neng bisa masak jamur enak sepuasnya. Pagi-pagi duduk di deket jendela apartement memandang tetesan air campur es sambil nyeruput kuah indomie anget-anget rasa micin. Sungguh istimewa.

Yang anget yang anget... Indomie plus plus

Oct 18, 2018

Harga Nasi Uduk Di Kutub

October 18, 2018 0 Comments
Gara-gara kedinginan di kutub saya jadi bolak balik masuk ke toko, supermarket dan sebangsanya. Numpang nganget sekaligus survey harga. Tidak heranlah kalau harga disana teramat jauh dibanding dengan negri sendiri, secara memang bukan negara industri apalagi pertanian. Adanya hanya sawah es. Kutub yang saya maksud yaitu di Norwegia utara yang secara geografis memang masuk ke dalam lingkaran kutub utara. Saya berkesempatan pergi ke Tromso dan Kepulauan Lofoten dalam rangka menjalankan tugas dari Allah untuk menikmati dunia.

Perlu diingat Norwegia adalah negara Nordik yang terkenal sebagai negara mahal di Eropa. Konon merupakan negara paling bahagia di dunia. Rating setiap tahunnya hanya naik turun di 5 teratas dengan negara di sebelah sebagai tandingannya. Seperti Finlandia, Denmark, Swedia dan satu lagi agak jauh ke seberang yaitu Swiss. Bahagia karena sekolah gratis, jaminan kesehatan gratis, standar gaji besar, fasilitas umum lengkap dan modern tentunya, pemandangan alam yang sangat bagus serta tingkat kriminalitas yang rendah. Memang nyaman sekali tinggal di negara-negara itu, hanya yang tidak nyaman duitnya, bikin nyeseg, perih, pedes, mual dan gumoh. Ongkos bus dengan jarak 3 km 100 ribu, sup ikan semangkuk 150 ribu, burger sepotong 150 ribu, air minum sebotol 600 ml 50 ribu. Aje gileee... Biaya hidup sehari disana bisa dibelikan bedak apon atau oriplem dari muka sampai kaki, bisa buat modal gegayaan bling-bling di kampung.

Lucu-lucu gemes itu saat ketemu sere di supermarket di daerah Leknes. Hanya 3 bijik kalau dirupiahkan 22 rebuk. Bayangkaaan itu harga lipen saya bisa dipakai antara 6 bulan sampai setahun. Padahal sere kalau di kampung tinggal metik sendiri, minta tetangga atau kalau hanya 3 biji mah suka dikasih gratis ama abang tukang sayur. Jadi kepikiran kalau mau jualan nasi uduk berapa ya sebungkus, secara serenya aja mahal sekali. Coba kita hitung yuk berapa harga bahan dasar untuk membuat nasi uduk disana, yang sekedar ketemu aja ya tidak lengkap seperti di kampung. Selama disana gak pernah melihat bumbu dapur seperti bawang merah, bawang putih, lengkuas, ketumbar dan cabe, paling hanya bawang bombay dan paprika.

View depan hotel di Svolvær (Kepulauan Lofoten) saat musim dingin. Saat musim panas banyak rumput hijau tapi sere mungkin tidak bisa tumbuh. Hasil bumi hanyalah ikan, secara memang daerah nelayan.

Beras instan 400 gram : 47 ribu, beras biasa 500 gram : 30 ribu

Santan kelapa sekotak : 68 ribu

Sere tiga biji : 22 ribu

Sambel elek (maksudnya uleg mungkin) sebotol keciill : 54 ribu

Saos sebotol : 69 ribu

Daun bawang seiket : 49 ribu (buat goreng telor)

Telur 6 biji : 45 ribu

Lalapan : 45 ribu

Wortel kecil-kecil seplastik : 30 ribu

Jadi dengan modal harga diatas kira-kira sebungkus nasi uduk dijual berapa? Kalau ada yang kurang lagi misal garem atau merica bubuk bisa minta ke ibu kost, tetangga atau siapalah yang lewat diajak kenalan. Nah semoga ini bisa bermanfaat bagi yang berminat jualan nasi uduk di kutub. Tapi bai the wey kalau jualan disana yang mau beli juga siapa secara orang lewat aja bisa dihitung dengan jari apalagi di kepulauan Lofoten yang kampung nelayan agak pinggiran, sepiii seperti gak ada kehidupan. Saya mah pengen jualan sere aja yang gak usah masak-masak. Bawa sekoper bisa kebeli motor. Tapi lagi-lagi siapa yang mau beliiikk??

Oct 10, 2018

Membeku Di Negara Biskuit Monde

October 10, 2018 0 Comments
Apa yang terlintas saat mendengar kata Denmark? Saya teringat jaman sekolah nonton pertandingan bulutangkis di TV saat final Indonesia lawan Denmark, Indonesia kalah. Pemainnya Taufik Hidayat dengan Peter Gade. Satu lagi yang iya banget adalah Biskuit Monde. Konon biskuit kesukaan saya sedari kecil dengan kemasan kaleng bulet gepeng bergambar simbol multi negara itu adalah kue khas Denmark. Dari kaleng inilah saya jadi punya impian untuk pergi ke tempat biskuit yang asli berada.

Alhamdulillah suatu hari diberi kesempatan menginjakkan kaki ke Copenhagen ibu kotanya Biskuit Monde. Sepanjang jalan teringat kala kecil belajar membaca dari huruf di kaleng yang biasa dipakai tempat rengginang di rumah. Hampir setiap hari saya mengeja kalimat "Danish Monde Butter Cookies" tanpa bosan. Dramatis banget ya gara-gara sering baca kaleng kue jadi bisa pergi ke Denmark. Halah.

Biskuit Monde yang asli dijual dimana-mana di Denmark. Sekaleng kecil Rp 190an ribu, kalau di Indonesia Rp 60an ribu. Harga beda jauh, rasanya mirip.

Berhubung pergi di akhir winter sudah terbayang pasti dinginnya seperti masuk ke dalam kulkas. Ini bukan pertama kali saya ke tempat bersalju saat winter. Pernah ke tempat dengan suhu -15°C di Jepang. Cukup dengan memakai baju dan jaket khusus winter walaupun tanpa sarung tangan dan syal. Biasanya masih tahan karena kepala masih tertutup kerudung dan tangan bisa dimasukkan ke dalam saku. Jadi tidak begitu khawatir.

Eh ternyata beda cerita pemirsa. Mendarat di Copenhagen Airport (Københavns Lufthavn) masih belum terasa dingin karena masih banyak penghangat ruangan. Tapi tetap harus mempersiapkan peralatan tempur. Setelah ambil bagasi bongkar koper ambil long john extra warm dan jaket ultra light down ditumpukan paling atas lalu ganti kostum di toilet. Sarung tangan dan syal rencana dipakai nanti setelah sampai di penginapan karena aktivitas masih banyak di dalam ruangan. Insya Allah masih kuat apalagi di kereta juga ada penghangatnya. Saya membeli paket oneday tiket, bisa untuk naik kereta dan bus dalam kota kemana saja. Lupa harganya berapa kalau dirupiahkan sekitar 90 ribuan.

Saat turun ke stasiun Mak Berrrr... Modyaar dingin banget. Tangan, pipi dan bagian yang tidak tertutup rasanya beku semua. Sampai ba'al, periiihhh seperti kesemutan. Gaya banget gak usah pakai sarung tangan. Mau bongkar koper lagi ambil sarung tangan keadaan sudah tidak mungkin. Selain ramai juga gimana kalau pas lagi bongkaran kereta datang. Cari masalah. Mending dimasukin ke ketek. Sayangnya tidak bisa selalu menyembunyikan tangan karena harus memegang koper. Amel yang biasa tahan dingin, saat itu dia menggigil hebat. Apalagi saya yang badannya kekurangan lemak. Tembus sampai ke sumsum tulang. Luar biasa tidak menyangka bakal sesadis ini.

Syukurlah kereta cepat datang. Biasanya di dalam kereta cukup hangat saat itu masih seperti duduk di dalam kulkas. Entah efek di luar yang dinginnya keterlaluan atau memang penghangatnya yang sederhana. Apalagi kalau berhenti menurunkan penumpang, angin es langsung masuk mak wuussshhh!!!

Adakah yang salah dengan website accu weather? Saat itu tertulis -15°C tapi kenapa memakai baju yang sama dengan yang saya pakai saat winter di Jepang belum cukup. Masih menggigil kemana-mana. Ada apa gerangan?

Rupanya saat itu suhu di kawasan Denmark sedang drop karena dilanda badai angin Siberia yang membuat terasa seperti minus 20an. Kabarnya di tempat lain seperti Inggris, Irlandia dan negara belahan Eropa yang lain mengalami hal yang sama malah menimbulkan korban jiwa. Pantesan rasanya setengah mati. Hidung meler, pusing, perih dimana-mana dan beku sampai kesulitan ngomong. Genangan air di sungai dan kanal semua mengeras bisa dipakai ice skating. Acara keliling ke landmark di Copenhagen banyak yang dilewatkan. Karena tidak kuat melawan angin Siberia. Sehari hanya keliling naik bus dari ujung ke ujung berhubung sudah punya tiket unlimited. Sesekali keluar masuk gereja atau toko di shopping street untuk menghangatkan badan.

Keesokan harinya justru semakin drop malah ditambah hujan salju beberapa kali. Biarpun langit biru cerah tapi anginnya kenceng luar biasa. Papan iklan dan kayu banyak yang ambruk. Kursi-kursi di cafe outdoor terbang berhamburan. Alamak pengen nangis mau pulang aja. Gak bisa ngapa-ngapain. Gimana mau foto-foto cantik kalau dinginnya lebih dari frezzernya emak di rumah. 

Subhanallah tempat terdingin yang pernah saya rasakan ya disini, Copenhagen. Tempatnya mas Peter Gade dan Biskuit Monde.

Nyhavn, kampung nelayan tempat penulis dan penyair terkenal Hans Cristian Andersen pernah tinggal. Bergaya selpih di kanal beku biar kya mbak-mbak yang diatas, tapi cantiknya dimana coba?

By the way dikira negara mahal mah bakalan kinclong kemana-mana. Ternyata ya biasa aja butut-butut juga. Banyak gedung dan gereja tua. Pesan saya, jangan lupa kalau pengen pergi ke Denmark pegang-pegang dan baca dulu aja kaleng Monde setiap hari...

Oct 9, 2018

My Diary - Helsinki

October 09, 2018 0 Comments
Helsinki, 27 Februari 2018 - 07:45
(memindahkan dari buku diary)

Saat ini saya berada di dalam pesawat Finnair AY-951 yang akan menuju ke Copenhagen. Saya sudah duduk manis di seat 33B. Tempat duduk di pesawat ini sempit, bakalan males ke toilet karena mengganggu orang di sebelah. Tapi 1.5 jam dengan udara beku gak yakin kalau gak beser. Pesawat masih menunggu penumpang boarding. Ibu pramugari sibuk membantu meletakkan bagasi kabin dan menunjukkan seat ke para penumpang. Pramugari disini kebanyakan ibu-ibu gendut, bukan mbak-mbak yang masih muda seperti pesawat low cost di Indonesia. Rambutnya juga asal diiket pakai karet gelang agak awut-awutan, boro-boro disanggul. Dandannya juga biasa aja bedak tipis dan lipstik samar-samar. Hanya 1 yang masih muda sedikit menor dan pakai peci, udah senior males kali ya. Bajunya kemeja putih dengan blazer biru dongker dan rok di bawah lutut dibelah belakang. Pakai sepatu pantopel warna hitam low heels. Seperti ibu-ibu yang kerja kantoran kalau di Indonesia.




Sebelah kanan saya Amel, sebelah kiri babang ganteng pakai jas rapi banget sedang membuka laptopnya. Esmud ganteng brewokan tipis, rambut cepak dan pirang tentunya. Saya ngintip sepertinya sedang membuka artikel tentang lingkungan. Entah tugas kuliah atau bahan ngajar, gak tau juga wong bahasa Inggris semua gak mudeng. Lihat babang sibuk saya juga ambil buku diary dan nulis ala kadar ini, pura-pura sibuk juga biar disangka orang penting. Amel sudah tidur sambil menyandarkan kepala ke jendela. Badan kami memang cukup lelah sehabis terbang 12 jam dari Singapura ke Helsinki.

Suhu diluar -16°C dan bersalju, begitu juga dengan Copenhagen melihat di website perkiraan cuaca. Banyak warning tanda kuning dihape pertanda cuaca ekstrim. Entah gimana nanti saat bersentuhan dengan salju katanya di Copenhagen lebih dingin dari pada Helsinki. Semoga badan ini kuat. Dengan niat baik Insya Allah semua akan dipermudah. Awali dengan Bismillah dan serahkan saja pada Allah.

Babang di sebelah mulai mematikan laptopnya, tampaknya sebentar lagi take off. Saya juga mengakhiri tulisan ini dan akan mengembalikan buku diary ke dalam tas di bawah tempat duduk lalu pasang bantal leher dan siap tidur menyusul Amel. Bye bye..  Sampai ketemu di Copenhagen.

Oct 3, 2018

Bodo

October 03, 2018 0 Comments
Selama travelling ke Norwegia ada beberapa teman yang rajin menanyakan kabar. Sampai mana, lagi dimana, gimana dan sebagainya. Walaupun dengan komunikasi yang lumayan tersendat. Selain karena perbedaan zona waktu sekitar 6 jam, juga karena saya hanya mengandalkan wifi gratisan. Saya hanya membalas pesan saat menemukan sinyal.

Lucunya mereka rela browsing sebelum dan sesudah bertanya ke saya. Katanya biar gak bodoh-bodoh amat setidaknya obrolan nyambung. Karena tempat yang saya kunjungi lumayan asing untuk didengar sebagian orang Indonesia. Diantaranya adalah desa nelayan di Kepulauan Lofoten Norwegia Utara. Sebutlah Stokmarknes, Svolvaer, Leknes dan sekitarnya. Sering kali mereka sambil menunjukkan skrinsut dari google map, "Lagi di sini bukan?"

Suatu malam hampir jam 11 waktu setempat saya baru saja check in ke hotel setelah pindahan dari kota sebelumnya naik kapal ferry. Letak hotel sekitar 700 meter dari pelabuhan. Tidak seberapa jauh buat saya tapi harus menggeret koper diantara salju tebal dan badan menggigil, sangat bikin sengsara. Sampai di kamar badan masih kedinginan dan mata mulai lengket. Sesegera mungkin harus meringkuk ke dalam selimut.

Sambil merebahkan badan saya membuka henpon menyambungkan dengan wifi hotel. Tentunya banyak pesan yang masuk dari teman-teman. Salah satunya pertanyaan dari adek Junior yang belum lama kenal "Kakak... Udah sampai mana?" Dengan sisa-sisa tenaga saya hanya menjawab singkat "Bodo" lalu tertidur.

Bangun tidur lumayan banyak pesan dari adek ini dengan nada bersalah.

"Maaf ya kak kalau mengganggu. Aku cuma pengen tau aja dan seneng denger kakak jalan-jalan. Aku jadi banyak pengalaman juga dari cerita kakak. Abis kakak perginya menclak-menclok kemaren ke sini tiba-tiba udah ke situ. Dijawab kalau lagi sempat aja gak apa-apa kak, maaf ya..."

Bingung kenapa adek ini ya? Perasaan dari kemaren baik-baik aja seperti biasa suka bercandaan. Kenapa tiba-tiba aneh. Mungkin kelamaan jawabnya? Entahlah... Jadi ngetik agak panjang cerita ulang.

"Gak apa-apa dek sorry jawabnya telat baru nemu sinyal. Gini ya jadi kemaren dari Tromso pindah ke Lofoten naik cruise sehari semalem, nginep 1 malem di Solvaer, 1 malem di A dan sekarang udah pindah lagi ke Bodo kemaren sore naik kapal ferry, nginep semalem di sini"

"Ooohh... Jadi Bodo itu nama tempat kak????"
"Iya"
"Ya ampun... Kirain kakak lagi marah karena aku bawel nanya-nanya mulu"
"Lha biasanya kan browsing kalau denger tempat baru"
"Iya, tapi aku udah down duluan, aku takut kirain kakak marah trus bilang Bodo, kirain aku yang bodoh banget dijelasin gak ngerti-ngerti huaaa..."

Haduuuhh kasian sekali sih dek hahaha...

Ngomong-ngomong soal Bodo di sini ada kejadian yang beneran bodo banget. Kami jam 4 pagi harus check out dari hotel karena akan ke Oslo pesawat jam 06.00. Letak airport hanya 10 menit memakai kendaraan. Jalan kaki juga kuat asal suhunya tidak ekstrim dan tidak bebawaan berat. Bodo hanya kota kecil.

Kami pesan taksi malam sebelumnya di resepsionis hotel untuk jam 4 pagi. Taunya terlewat jam 04.15 kami baru keluar. Tidak ada taksi yang datang entah sudah pergi atau memang tidak ada. Sepiiiii banget di sekitar hotel. Kebetulan resepsionis tidak buka 24 jam. Jalan kaki memang tidak jauh tapi mengingat waktu boarding yang tinggal sejam lagi tidak memungkinkan... Aaahh... Bodo banget emang bisa-bisanya telat, di negara tepat waktu telat semenit aja bisa fatal.

Kami jalan ke arah airport sambil tak hentinya mengintip ke mobil yang terparkir di pinggir jalan. Barang kali ada orang di dalam dan bisa minta tolong. Rupanya tidak ada orang satu pun. Ya ngapain juga tidur di dalem es.

Syukurlah kami melewati hotel yang agak besar dan di dalam terlihat security sedang berjaga. Lupa hotel apa namanya. Amel lari ke dalam untuk minta bantuan. Saya menjaga koper di luar. Alhamdulillah ibu security itu membantu menelponkan taksi dan mempersilahkan kami untuk menunggu di lobby. Badan saya lumayan meleleh setelah masuk ke dalam karena di luar suhunya -15°C.

Tidak sampai 15 menit taksi datang, mobil berwarna hitam kinclong mirip Alphard. Bapak sopir membantu mengangkatkan koper untuk diletakkan di bagasi. Tak lupa dadah-dadah berterimakasih ke ibu security yang baik hati lalu mobil bergerak meninggalkan hotel. Saya dan Amel duduk manis di belakang sambil was-was melototin argo. Untungnya hanya dekat sekali, tidak sampai 10 menit sudah sampai di airport yang berjarak hanya 2.5 km. Berapakah ongkosnya? Kalau dirupiahkan 335 ribu. Alamaaakk.. Mahalnyaaa. Tapi segitu juga tidak terasa. Masih kalah bahagia dengan tepat waktu sampai di airport sehingga tidak tertinggal pesawat. Alhamdulillah...