Jam 02.20 dini hari diiringi
gerimis kecil saya menggendong ransel yang beratnya lebih dari 7 kg, keluar
dari kost menuju ke pangkalan ojek. Mata masih lengket karena baru tidur 2 jam. Tidur juga hanya setengah
karena takut kebablasan. Saya akan naik flight pertama jam 06.20 setidaknya 2 jam
sebelumnya harus siap di bandara.
Beruntung ada ojek 24
jam yang siap mengantarkan ke pol damri tujuan bandara. Saya masih bisa
terangkut oleh bus yang pertama. Di jadwal jam 03.00 tapi
kenyataannya jam 03.30 baru berangkat. Itu pun masih ngetem ambil penumpang di beberapa titik. Jam
04.10 baru lancar masuk tol. Jantung dag dig dug karena closing gate jam
05.20. Perjalanan paling cepet pakai ngebut nyalib sana sini ala Michael
Schumaker 1 jam lebih. Sedangkan bus umum pastinya lelet, bisa-bisa 2 jam lebih baru sampai.
Sambil gemeteran membayangkan ditinggal pesawat saya utak atik hp mencari web check in. Sebelumnya selalu self check in di bandara, jadi masih coba-coba. Setelah
beberapa kali bermasalah akhirnya berhasil. Lega rasanya bisa tidur nyenyak tanpa
dibayang-bayangi rasa takut walaupun akhirnya tidak tidur juga.
Jam 05.15 bus damri menurunkan
saya di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta. Setelah melewati x-ray di pintu
masuk saya segera lari menuju ke mesin self check
in untuk cetak tiket. Berkali-kali scan barcode tidak berhasil jadi mundur dulu kasih kesempatan yang di belakang. Belum lama beranjak dari tempat itu datanglah bapak-bapak crew maskapai yang
rupanya melihat kebodohan saya lalu membantu scan barcode dan cling... ngek ngek ngek ngeeekk... Keluarlah tiket dari lubang print di mesin itu. Eh kok
gampang banget sih… #ndeso.
Setelah tiket di tangan saya ke imigrasi. Tidak ada antrian sama sekali
dan “cetok” paspor saya diberi stempel. Masih jam 05.30 alhamdulillah urusan beres. Saya ke mushola untuk sholat subuh, karena musholanya
kecil tas ransel saya letakkan di lantai depan mushola. Agak
khawatir tapi ya bismillah aja kalau rejeki tidak akan kemana. Benar saja sampai selesai masih tergeletak seperti semula.
Baru
duduk sebentar sudah ada panggilan untuk boarding pesawat yang menuju “Pineng” maksudnya “Penang” tapi dibaca enggres. Setelah antri menyobek tiket saya
dan semua penumpang diangkut oleh bus ke tempat pesawat parkir. Langit
masih sendu tidak tampak sang mentari dan gerimis juga belum berhenti. Ada perasaan lega saat meletakkan ransel dikabin karena beratnya lebih
dari 7 kg, melebihi berat maksimal yang diijinkan. Mungkin lebih 1-2 kg. Menggendongnya pundak lumayan pegel.
Saya kebagian
seat 22C di sebelah jendela,
lumayan bisa mengintip awan tapi tak enaknya kalau mau ke toilet harus mengganggu kursi sebelah. Menunggu take off adalah saat-saat biasanya dikaruniai rasa ngantuk. Safety demo dari mbak pramugari terdengar seperti sayup-sayup mimpi. Tiba-tiba terdengar
suara brisik “Ubruk ubruk ubruukkk…” saya kaget sampai melotot dikira ada gempa dahsyat hampir saja teriak maling-maling, rupanya pesawat sedang take off.
Beberapa kali pesawat mengalami
guncangan. Pikiran mengembara membayangkan tragedi QZ 8501 yang pada saat
itu masih dalam tahap evakuasi para korban. Saya memasrahkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa Insya Allah semua akan baik-baik saja.
Kira-kira 2.5 jam
melayang akhirnya pesawat landing di Penang International Airport. Cuaca cerah matahari lumayan menyengat tidak seperti di Jakarta yang
sehari-hari hujan. Beres urusan imigrasi saya mampir
ke money changer karena belum punya uang ringgit. Biasanya kurs di airport
lebih mahal maka hanya menukar 10 SGD sisa jalan-jalan dari Spore hanya untuk ongkos naik bus ke pusat
kota. Tak lupa meminta koin karena bus di Penang tidak ada kembalian,
harus uang pas.
Sambil agak bingung dan mengabaikan tawaran sopir taksi, saya ucluk-ucluk mencari tempat Bus Rapid Penang. Ada dua bus terparkir tapi entahlah jurusan kemana. Saya akan naik bus 401 atau 401E jurusan Terminal Jetty dan akan turun di Masjid Kapital Keling. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya bus nomer 401 datang. Sebelum duduk harus membayar ongkos dengan memasukkan uang pas ke dalam box seperti celengan yang terletak di samping kursi pak sopir. Ke Masjid Kapital Keling 2.70 RM. Lalu pak sopir akan memberikan selembar tiket kecil.
Bus Rapid Penang |
Sebelum duduk harus membayar tambang pakai uang pas dimasukkan ke celengan ini. Gimana mau ambil kembalian kalau begini? |
Karena baru
pertama kali ke Penang saya duduk di kursi paling depan yang sebetulnya adalah
kursi prioritas dan minta tolong pak sopir untuk kasih tau jika sudah
sampai di Masjid Kapital Keling. Dikira tidak seberapa jauh makanya tas ransel
tetep saya gendong sambil duduk. Lha ternyata kok jauuuhh… banget sampai 1,5 jam
belum nyampe-nyampe, pegel juga pundak dan punggung. Secara duduknya hanya
separo yang separo buat ransel.
Setelah hampir dua jam
bus mulai masuk ke jalan yang kanan-kirinya dipenuhi toko, belok sana belok
sini, saya yakin pasti hampir sampai. Mulai deg-degan melihat tulisan “Pastikan Lorong Anda” kenapa sampai ada seperti itu apa
banyak yang kesasar? Nah lo.. wes mbuh lah. Benar saja tak berapa lama pak sopir memberi tau untuk turun tapi bukan di depan Masjid Kapital Keling. Di sana tidak ada halte. Bus di Penang tidak boleh berhenti sembarangan. Jadi harus jalan kaki kira-kira 200 meter dengan petunjuk
dari pak sopir. Jreng jreeeng ketemu juga masjidnya. Tapi tujuan pertama bukan ke masjid. Itu hanya patokan untuk mencari penginapan yang
sudah saya booking yaitu di Red Inn Court. Dari masjid luruuuuss sambil nengok
ke kanan. Alhamdulillah ketemu kira-kira 100 meter,
tempatnya kecil seperti ruko tapi tulisannya jelas.
Dari luar biasa aja, tapi dalemnya okey dan stafnya ramah. |
Penginapan ini selain murah juga lumayan strategis dekat dengan masjid, terminal jetty, pelabuhan, halte bus rapid penang, halte bus hop on hop off dan halte CAT free bus. Sekitarnya juga banyak makanan halal. Saya memilih Red Inn Court hanya random karena semata-mata murah dan punya review yang bagus. Semalem Rp 90.000 per orang include breakfast. Kadang malah diskon jadi Rp 78.000. Saya booking via Traveloka.
Jam masih di angka 10.30 waktu Malaysia sedangkan waktu check in jam 14.00 sehingga saya hanya menitipkan ransel dan numpang ke toilet lalu mulai keliling. Untung bawa payung buntung yang gagangnya patah tapi malah praktis
dibawa kemana-mana. Lumayan bisa berlindung karena cuacanya
bener bener puanaaaaasss….
St. George’s Church yang bergaya Yunani dibangun pada tahun 1817 oleh East India
Company. Disini ada peringatan dilarang foto prawedding, untunglah gak bawa calon suami.
|
Salah satu karikatur dari besi yang tersebar di berbagai sudut kota tua George Town. Temanya tidak jauh dari keseharian warga yang tinggal di sekitar karya-karya tersebut dipajang. |
Museum Coklat |
Gedung Mahkamah Tinggi. Banyak gedung yang serupa jadi suasananya mirip di Eropa. |
Setelah keliling sampai beberapa kali
nyasar ke jalan buntu tiba-tiba kepala saya nyut-nyutan. Sepertinya efek kepanasan. Buntelan P3K ada di dalam ransel yang dititipkan di penginapan.
Saya masuk ke warung makan yang penjualnya memakai kopyah yang jelas
halal. Sebenarnya tidak nafsu makan apalagi warung India dengan bau khas yang saya benci yaitu kari. Berhubung adanya itu ya mau gimana lagi. Saya paksakan makan nasi goreng dan minum teh manis agar pusingnya hilang.
Selesai makan jam 12.30
saya mencari masjid yang tidak jauh dari tempat makan, lupa namanya. Sholat dzuhur masih 1 jam lagi, sehingga saya tiduran di dalam masjid. Kebetulan ruang sholat wanita tempatnya tertutup, jadi bebas selonjoran.
Sebenarnya ada larangan untuk tidak tidur di dalam masjid tapi ya mohon maaf sedang butuh berbaring. Entah pusing kena cuaca panas atau capek kurang tidur. Lumayan bisa terlelap sebentar
dan pusing pun berkurang. Setelah adzan berkumandang saya mengambil wudhu dan
sholat.
Jam
14.00 saya beranjak dari masjid untuk kembali ke penginapan. Walau punya peta tapi bingung bacanya. Tanya ke seorang bapak-bapak yang lewat dengan pedenya nunjukin “Kesana… kesana...” Tapi
menurut feeling sepertinya ke arah sebaliknya. Setelah diikuti ternyata
bener kembali ke tempat makan yang sebelumnya. Haaisshh... Menyesatkan.
Beruntung bertemu pak cik pengamen gaul yang ternyata tujuannya searah. Pak ciknya
keren, berasal dari Perak, pernah keliling Indonesia, pernah
tinggal di Belanda, keliling Eropa dan masih banyak lagi. Kata pak cik “Selagi masih muda
melanconglah, jangan takut kita tidak sendiri Allah selalu bersama kita dimanapun” Betul
Pak Cik. “Kalau wong puteh (orang bule) melancong seorangan saye lihat sudah biase, tapi yang seorangan seperti kamu ini masih sedikit” Ahh Pak Cik gak tau aja. Sebenarnya pengen ikut Pak Cik ngamen tapi berhubung kepala pusing lebih baik check-in ke penginapan, minum obat dan tidur.
Mbak resepsionis yang ramah dan friendly melayani agak lelet. Dikira komputernya bermasalah ealah ternyata ketawa ketiwi sambil chatting di facebook, duh mbak... Masih sambil cekikikan beliau mengambil kunci lalu mengantarkan ke kamar. Kamar saya di lantai 2, berisi 6 orang, 2 dari Swedia, 2 dari Jepang dan 1 dari Australia. Perempuannya saya dan 1 orang dari Swedia. Semua baik, ramah dan punya rasa toleransi yang tinggi. Saat saya butuh password wi-fi dengan senang hati mencarikan sampai ketemu. Mbak resepsionis kelupaan kasih kertas itu, karena asyik chatting.
Mbak resepsionis yang ramah dan friendly melayani agak lelet. Dikira komputernya bermasalah ealah ternyata ketawa ketiwi sambil chatting di facebook, duh mbak... Masih sambil cekikikan beliau mengambil kunci lalu mengantarkan ke kamar. Kamar saya di lantai 2, berisi 6 orang, 2 dari Swedia, 2 dari Jepang dan 1 dari Australia. Perempuannya saya dan 1 orang dari Swedia. Semua baik, ramah dan punya rasa toleransi yang tinggi. Saat saya butuh password wi-fi dengan senang hati mencarikan sampai ketemu. Mbak resepsionis kelupaan kasih kertas itu, karena asyik chatting.
Menjelang Ashar saya bangun dari tempat tidur. Pusing sudah lumayan hilang dan badan kembali segar. Saya pergi ke masjid dengan membawa barang seperlunya. Bersyukur bisa ikut sholat berjamaah. Selesai sholat saya mengambil beberapa gambar. Banyak turis yang berfoto di depannya, ada juga yang masuk ke dalam. Tentunya bagi yang kekurangan baju (berbaju sexy), dipakaikan jubah sebelum masuk. Jubah-jubah itu memang disediakan buat para turis yang ingin berkunjung.
Lalu saya jalan ke pelabuhan ingin mencoba naik kapal ferry dari George Town ke Butterworth, yang katanya perginya gratis kembalinya bayar 1.20 RM. Saya jalan kaki lewat jalan Lebuh Chulia lurus sampai habis. Tak jauh dari ujung jalan disitulah pelabuhannya. Setelah melihat ke dalam ternyata ramai sekali. Banyak yang hendak menyeberang, karena jam pulang kerja. Berhubung males antri saya mengurungkan niat, kebayang juga rasanya paling begitu doank.
Saya berpindah haluan ke Penang Hill (Bukit Bendera). Saya keluar dari pelabuhan dan menuju ke terminal Jetty (Weld Quay) di sebelahnya. Lumayan banyak calon penumpang bus di terminal itu. Bus nomer 204 jurusan Bukit Bendera penumpangnya hanya saya dan 1 kakek-kakek. Tapi di tengah jalan banyak yang naik sampai berjubel. Perjalanan ke Penang Hill cukup lama sekitar 1,5 jam karena sempat macet beberapa kali.
Turun dari bus saya membeli tiket funicular seharga 30 RM untuk pulang pergi, tapi dikembalikan lagi 15 RM, katanya 50%. Waah... Senang jungkir balik ada even apakah? Entahlah karena menjelang maghrib apa karena masih dianggap anak kecil, yang pasti saya diberi tiket dengan kode FC, foreign child. Rejeki anak sholeha.
Saya masih anak-anak |
Kota Penang dilihat dari Penang Hill, tampak juga Penang Bride ke-1 dan ke-2. Anginnya lumayan kenceng dan dingin. |
Masjid Penang Hill. Sempat sholat maghrib disini sepi banget hanya ada 1 orang penjaga masjidnya, selesai sholat langsung ngacir takuutt... |
Funicular, lumayan deg-deg saat di tanjakan curam. Mematung seperti robot tidak berani menoleh ke belakang. Tapi asyiknya tuh disituuu... Lebih asyik lagi pas turun saya duduk paling depan wooww... |
Memandang kota Penang dimalam hari tampak indah. Gemerlap lampu bagaikan hamparan bintang. Tapi semakin malam semakin dingin dan saya lupa membawa jaket. Lebih baik segera turun dari pada kena marah nenek. Sampai di bawah sudah ada bus nomer 204 yang siap jalan. Hampir saja ketinggalan. Lari-lari bersama turis Korea, Jerman dan Thailand sambil teriak "Waaaiiitttt....".
Begitulah hari pertama di Penang, hari berikutnya saya berkeliling menggunakan bus Hop On Hop Off. Saat beli tiket sok bercakap-cakap pakai bahasa Malaysia mengikuti logatnya Upin Ipin siapa tau dikasih harga lokal eh malah ditanya "You local or foreign?" Hmmm... Cempluk!! Lumayan harga lokal hanya 19 RM sedangkan harga foreigner 45 RM, 2 kalinya masih lebih pemirsa. Berlaku selama 24 jam tapi bus hanya beroperasi dari jam 09.00 sampai jam 20.00 jadi ya tidak full 24 jam. Okey lah tidak apa-apa sesekali jangan menggembel. Kata temen se-bus orang asli Penang "Murah ye 19 RM buat 24 jam". Iya buat lo... Lihat ya lo datang ke negara gw, gw mahalin ntar.
Ini penampakan busnya. |
Ada dua rute yaitu line warna orange city route dan warna hijau beach route, seperti yang terlihat pada map berikut ini.
Buat yang tidak banyak waktu dan tidak mau ribet sangat recommended naik bus ini. Sepanjang jalan crew bus akan bercerita menerangkan sesuatu yang dilewati. Bisa turun dimana saja dan naik lagi bus sejenisnya selama tiket masih berlaku.
Katanya ke Penang tidak lengkap kalau belum mencoba nasi kandar. Bayangan saya seperti nasi padang atau nasi uduk tapi lebih mewah. Beberapa tempat penjualnya selalu berwajah India. Dari jauh tercium aroma kari. Saya paling benci bau kari. Makanya mencari penjual berwajah lokal tapi tidak ketemu. Akhirnya ya ada saja di depan Masjid Kapital Keling. Kebetulan cumi dan udangnya guede-gede.
Baru juga nunjuk cumi, mas Rahul Khan Vijay Kumar dengan cekatan mengambilkan nasi sepiring dan pyuk pyuk disiram kari buanyaaakk... Sampai warna putih nasinya tidak kelihatan. "NOOO...!!!" Aakhh udah ga keburu. Mak plenggong!! Ternyata itulah yang dimaksud nasi kandar, nasi disiram kari. Ternyata tidak semua makanan khas harus dicoba tapi berhubung sudah dibeli ya dihabiskan walau sambil bergidik-gidik.
Udangnya selebar telapak tangan, gak usah ngiler rasanya biasa aja, SUER. |
Sorenya saya menyempatkan diri ke Gurney Drive untuk mencoba makanan di Anjungan Gurney yang buka dari jam 5 sore. Katanya surganya makanan. Saya memesan mie jawa dan es kelapa, memang enak sih tapi begitu dicicipi rasanya seperti masakan India bau kari. OMG!! I HATE CURRY... Berhubung sudah dibeli ya disyukuri apa yang ada... Tapi maaf tidak kuasa menghabiskan. Jadi inget kemaren baru datang kepala pusing, jangan-jangan mabok kari.
Mie jawa di Anjungan Gurney, suka dengan telur rebusnya. |
Selesai makan jam 19.15 saya kembali ke halte yang tidak jauh dari Anjungan Gurney. Ada 1 bus hop on hop off terparkir tapi sudah berhenti beroperasi. Waakks.. Jadi harus jalan kaki lewat jalan sepi dan gelap ke tempat yang ditunjukkan oleh orang entah jalan apa karena Anjungan Gurney tidak dilewati bus Rapid Penang. Di halte ada turis Eropa berbadan gendut ngajak ngobrol dan ujung-ujungnya pengen datang ke penginapan saya. Halah, No !!
yumiiii jd ngiler sm udangnya
ReplyDeleterugi kalo ngiler hajah, rasanya nggedabul...
Delete