Lanjut dari cerita sebelumnya ya Jalan-jalan ala Wong Ayu. Selesai sholat dzuhur saya turun ke lantai 1 Masjid Kowloon yang saat itu sedang acara open day. Dalam event ini komite dakwah Masjid Kowloon memberi kesempatan para pengunjung untuk mengikuti kegiatan di masjid secara gratis, diantaranya pengenalan tentang islam, tour masjid kowloon bersama guide, hijab try-out corner bagi yang ingin mencoba jilbab dan baju-baju muslim, menulis nama dengan arabic calligraphy dan yang paling penting buat saya adalah halal food corner. Tersedia beberapa softdrink, air mineral, kurma dan sambosa. Biarpun ga berasa laper tapi kalo ada yang gratis ya wajib dicoba apalagi bekal air mineral semakin menipis, lumayan kalo beli kan mahal hihihi... Haka gitu loh HK...
Peminatnya lumayan banyak apalagi arabic calligraphy antriannya paling panjang, ya sudahlah kasih kesempatan buat yang lain, saya cukup mengambil buku tentang dzikir berbahasa Malaysia yang free boleh dibawa pulang. Karena masih kenyang sambosa saya bungkus tissue dan diselipin di saku tas, lumayan buat ganjel kalo belum nemu halal food.
Halal Food Corner |
Usai membaur di Masjid Kowloon saya melipir lagi ke Taman Kowloon melihat beberapa tempat yang belum sempat tersambangi. Pemandangannya kurang lebih masih sama di setiap sudut banyak orang yang berbahasa jawa (dibaca tenaga kerja asal Indonesia). Segala macam style mode ada semua, mulai dari yang sederhana sampai yang glamor ala artis hollywood baju kekecilan atau kurang bahan lengkap dengan aksesoris yang bling bling.
Puas keliling Taman Kowloon saya bermaksud mencari Star Ferry Pier yaitu tempat ferry jurusan Hongkong Island. Biar lengkap berangkatnya naik MTR baliknya naik star ferry yang ongkosnya hanya 2 HKD. Saya mengikuti petunjuk yang tersebar di taman ke arah China Ferry Terminal. Saya pikir pasti banyak ferry dengan berbagai macam tujuan disana. Ternyata memang banyak tujuan tapi ke daerah China dan Macau bukan tujuan lokal Hongkong. Okey dech berarti wong ayu salah sasaran.
Saya punya peta Hongkong ambil dari Information Center di Airport tapi hanya dilipet di dalam tas males ngebuka. Berhubung kesasar dan kaki mulai berdenyut jadilah duduk ngadem di bawah pohon sambil belajar peta. Ternyata tempat yang saya maksud ga begitu jauh, tinggal jalan lurus sejajar dengan garis pantai dan di sebelahnya ada Victoria Harbour salah satu view point untuk memandang gedung pecakar langit di sisi Hongkong Island. Kalau diterusin lagi nyambung ke Avenue of Star tempat yang dibangun untuk menghormati insan perfilman di Hongkong yang mana banyak bertaburan cetakan tangan para bintang terkenal. Tapi saat itu sedang tahap renovasi.
Tak jauh dari Victoria Harbour terdapat Clock Tower, adalah menara jam setinggi 44 meter yang dipelihara sebagai monumen bersejarah di Hongkong. Beruntung saya berkenalan dengan mbak Ami pekerja asal Indonesia yang pada akhirnya mengantarkan saya ke 3 museum di sekitaran Clock Tower, yaitu Hongkong Space Museum, Hongkong Museum of Art dan Hongkong Cultural Center. Menurut mbak Ami satu diantaranya adalah tempat artis mendapatkan awar-awar. Sempet mikir sejenak apa itu awar-awar? Yang tak lain adalah award.
Usai mengelilingi museum kami duduk santai di Victoria Harbour menikmati eskrim sambil menunggu gedung pencakar langit menyalakan lampu warna-warninya.
Dibekelin tissue segepok juga oleh mbak Ami |
Saat matahari mulai tenggelam satu per satu gedung pencakar langit di seberang mulai kerlar kerlip bak lampu disko. Biasanya jam 8 malem akan ada symphoni of light yaitu lampu laser warna warni yang akan dipancarkan gedung pencakar langit dan akan menari-nari selama kurang lebih 30 menit. Berhubung ga sabar menunggu saya berniat pulang ke penginapan sebelum symphoni of light tiba.
Saya naik star ferry ke Wanchai sesuai saran mbak Ami lalu lanjut naik tram. "Numpak tram wae sing murah, arepo nggremet suwe-suwe yo tekan" (naik tram aja, biar pelan lama-lama nyampe juga). Kadang bikin geli judulnya di luar negeri tapi ngobrolnya jawa tulen.
Sebelum pulang ke penginapan saya mengisi lambung dulu di Victoria Park, selagi hari minggu banyak pekerja dari Indonesia yang berjualan disana. Victoria Park ini disebut-sebut sebagai kampung jawanya Hongkong karena setiap hari minggu menjadi tempat berkumpulnya pekerja asal Indonesia. Saya naik tram dari Wanchai dan turun di halte Victoria Park. Begitu masuk ke area beberapa kali terlihat ibu-ibu yang menggendong ransel sambil teriak bakso-bakso. Tanpa pikir panjang saya dekati beliau.
"Bu yang jual nasi dimana?"
"Ada di depan sana ama temen saya, mau dibeliin?"
"Mau bu, saya tunggu disini ya"
"Pake ikan apa ayam?"
"Ayam"
Saya mengambil posisi wenak di bawah pohon di pinggir lapangan sambil melihat mereka yang sedang joget-joget campur sari, hiburan murah meriah pelepas penat di negeri orang. Tak berapa lama seorang ibu datang menghampiri dengan membawakan bungkusan di dalam plastik.
"Berapa bu?"
"27 Dolar"
Persis kya masakan ibu saya di kampung, tumis daun singkong dan kacang panjang, orek tahu dan tempe, telur dan ayam goreng. |
Setelah menarik nafas sejenak karena perut kepenuhan saya kembali menunggu tram di tengah jalan. Emang relnya di tengah jalan tapi ada haltenya. Beberapa kali ada tram lewat tapi saya abaikan karena tujuannya bukan North Point. Tapi tiba-tiba ada ibu-ibu yang ngajakin naik jurusan Shauwaiken (kalo ga salah).
"Ayo naik!" ajak beliau dengan nada terburu-buru.
"Ini ke North Point ga"
"Iya apa aja nanti lewat sana!"
Naiknya dari pintu belakang turunnya di pintu depan sambil bayar, jauh dekat 2.3 HKD |
Saya ngikutin ibu naik dari pintu belakang dan berdiri empet-empetan. Ga ada kursi kosong. Sesekali ibu merhatiin saya kasih kode agar jangan berjauhan. Di halte berikutnya banyak penumpang turun.
"Sini duduk" ajak ibu dengan tatapan penuh cinta... eh baik banget maksudnya.
"Iya makasih bu"
"Baru ya disini kok tampaknya bingung"
"Iyaa..."
"Baru berapa lama?"
"Baru datang kemaren"
"Ouw kok udah disuruh pergi, kok udah boleh pake kerudung?"
"Hah? Emang kenapa bu?"
"Kalo baru biasanya belum boleh, tapi lama-lama boleh sih"
"Oh gitu ya..." masih gagal paham maksudnya apa.
"Nanti turun dimana tau ga?"
"Tau, di stasiun Fotress Hill atau North Point"
"Emang tinggalnya dimana?"
"Diantara stasiun itu tapi saya lupa, sepertinya sih lebih dekat ke Fotress Hill"
"Yang bener coba diinget-inget lagi, ntar nyasar lagi, rumahnya tau ga?" tampak khawatir sekali.
"Ga tau persis tapi kalo udah ketemu dua stasiun itu udah deket bu, ntar dicari sambil nanya-nanya gampang lah" saya mulai paham arah perkiraan ibu jadinya ga nyebutin nama penginapan, ntar ketauan turisnya.
"Siapin uang recehnya, nanti turun sambil bayar ya 2.3 dolar"
"Iya udah, saya pake kartu"
"Oh udah dikasih ya?"
"Iya..."
"Diisi berapa?"
"150, tapi kyanya tinggal 60an"
"Wah udah dipake kemana aja emang?" melotot kaget.
"Semalem dari airport kesini, trus tadi siang dipake muter-muter"
"Baik banget ya majikannya..."
"Hmmm... Iya Alhamdulillah..." nah kan bener wong ayu dikira tekawe, tapi ya iyain ajalah. Dalam hati pengen jelasin tapi ga tega ibunya terlalu baik. Maafkan ya...
"Ibu udah berapa lama disini?"
"6 tahun"
"Aslinya dari mana?"
"Semarang"
"Satu stasiun lagi kamu turun ya, hati-hati, dicari yang bener rumahnya"
"Iya bu"
"Nomer telpon majikannya udah tau?"
"Iya tau..."
"Nih udah nyampe, sana turun hati-hati ya..."
"Iya makasih bu, assalamu'alaikum..."
"Walaikumsalam..."
Rasa sedih terharu senang geli membaur desak-desakkan jadi satu. Sedih karena ga berterus terang, terharu dengan ketulusan ibu yang baru saja saya kenal, senang karena seharian bertemu dengan orang-orang baik, bisa pulang ke penginapan dengan lancar dan geli karena dikira tekawe. Ya gapapa toh sama-sama kerja juga, seandainya bisa memilih pasti pengen jadi majikan semua.
Hihihi pengalaman yg lucu yah hajah.
ReplyDeleteIyaaa hahaha....
Delete