Berbekal selembar peta saya menyusuri jalanan kota Chiang Mai. Dimulai dari Masjid Hidayatul Islam Banhaw ke Chiang Mai Walking Street. Sengaja tidak pakai tuk-tuk atau ojeg karena sekalian mencari penginapan. Banyak penginapan dengan harga ramah di kantong. Hasil survey paling murah kamar mix dorm 100 THB/malam atau sekitar Rp 39.000. Sepertinya jika ingin memanjakan diri menginap di hotel bagus dengan harga terjangkau, Chiang Mai salah satu tempatnya.
Sekitar setengah jam saya sampai di area Chiang Mai Walking Street yaitu di Tha Phae Gate. Tempat ini ramainya setiap hari minggu karena ada Chiang Mai Sunday Walking Street. Mulai jam 4 sore hingga jam 2 dini hari jalan akan ditutup untuk lalu lintas kendaraan dan dimanfaatkan kegiatan berdagang. Mulai dari makanan, cinderamata, pernak-pernik hingga kebutuhan harian. Saat itu hari selasa jadi ya tidak ada apa-apa.
Sekitar setengah jam saya sampai di area Chiang Mai Walking Street yaitu di Tha Phae Gate. Tempat ini ramainya setiap hari minggu karena ada Chiang Mai Sunday Walking Street. Mulai jam 4 sore hingga jam 2 dini hari jalan akan ditutup untuk lalu lintas kendaraan dan dimanfaatkan kegiatan berdagang. Mulai dari makanan, cinderamata, pernak-pernik hingga kebutuhan harian. Saat itu hari selasa jadi ya tidak ada apa-apa.
Saya masuk ke Tha Phae Gate mengikuti turis berambut pirang, melihat beberapa wat (kuil) di area Walking Street. Nama wat-watnya susah diingat. Lama-lama blenger juga sepanjang jalan kuil hanya beda bentuk dan ukuran. Apalagi bau dupanya bikin kepala kliyengan.
ThaPhae Gate |
Beruntung ketemu tempat rental motor. Murah sekali untuk motor 100 THB/24 jam dan sepeda 40 THB/24 jam. Cucok buat kendaraan selama di Chiang Mai dan saya cukup rental sepeda karena takut naik motor hihihi... Syaratnya harus pake jaminan paspor. Ingat pesan para sesepuh jangan sampai paspor terpisah dari badan karena ibarat nyawa kita di luar negeri. Sehingga cari alasan demi keselamatan.
“Sorry, paspor mau saya pakai cari penginapan”
“Kalau begitu deposit 1000 THB tapi paspornya saya pinjam untuk difotocopy”
“Okey, itu lebih baik mas"
Lalu masnya memilihkan sepeda yang kira-kira pas buat badan saya alias yang paling kecil. Ada keranjang depannya mirip sepedanya Han Ji Eun di film korea full house (satu-satunya film korea yang saya suka).
“Where are you from?”
“Indonesia”
“Oh Indonesia.. Are you alone?”
“Yes, my friend in here also but I can't calling her because I don't have wi'fi"
Tiba-tiba mas itu pergi sebentar dan balik lagi memberi sobekan kertas kecil berisi password wi'fi. Waah baik sekali terimakasih mas.
Setelah terkonek semua pesan yang terpending sejak di Bangkok masuk semua, diantaranya whats aap dari Monica. Tapi dicalling balik pakai line dan kakao talk beberapa kali, tidak diangkat. Terpaksa hanya tinggalkan jejak. Memang kami tidak janjian kalau ketemu ya syukur kalau tidak yang tetap masing-masing.
"Gimana sudah bisa menghubungi temannya?” tanya mas penjaga rental penuh perhatian.
“Sudah tapi belum ada jawaban, saya sudah tinggalkan pesan”
“Semoga nanti bisa ketemu ya ”
“Terima kasih… Saya pergi dulu ya”
“Oke, hati-hati…” mas itu mengantarkan saya sampe ke pinggir jalan.
Tekstur aspal di Chiang Mai cukup halus dan nyaman sekali untuk bersepeda. Matahari saat itu lumayan menyengat tapi bisa ternetralisir dengan udara dingin. Saya melihat penginapan yang pernah saya catat. Ada dua tempat dan ternyata dua-duanya tidak oke dari segi lokasi maupun keadaan kamar. Lalu saya mencari lagi di gang yang lebih sepi, lebih nyaman dan dekat dengan jalan utama.
Ada sebuah guest house berhalaman luas banyak tanaman bikin adem dan anak kecil yang lagi lucu-lucunya. Kalau di sini rasanya seperti liburan di rumah bulek. Tarifnya lumayan mahal di banding yang lain tapi sesuai dengan keadaannya. Paling murah kamar non AC shower air panas 350 THB/malam. Awalnya masih mikir-mikir karena masih banyak penginapan yang lebih murah. Tapi teringat malam sebelumnya tidur di bus Bangkok – Chiang Mai, nah sekarang saatnya memanjakan diri. Walaupun pergi secara gembel tidak harus juga nginep di tempat yang asal tidur. Ceritanya kan mau liburan. Jadilah booking satu kamar di guest house itu.
Dede bayi lucu entah anaknya atau cucunya pemilik guesthouse |
Selesai booking saya harus kembali ke masjid mengambil ransel. Tapi lupa jalannya lewat mana. Tanya ke ibu penjaga guest house sama sekali tidak bisa bahasa Inggris. Modyaarr.
Saya belajar peta beberapa saat lalu gowes sepeda lagi. Hampir satu jam muter-muter tidak jelas dan akhirnya ketemu satu petunjuk, tulisannya keriting di gedung seinget saya lurusnya gang depan masjid. Tapi saat melintas di jalan itu seolah semua mata memandang ke saya, ada yang senyum-senyum, ada yang melotot, rupanya saya melawan arus. Untung tidak ada polisi. Maaflah dari pada kehilangan jejak lagi.
Ketemu juga gang masjid, tempat saya turunin abang ojeg tadi pagi. Sekarang lebih ramai toko-toko buka semua dan banyak motor parkir. Lalu saya masuk ke area masjid (tepatnya sih sekolahan), banyak mobil terparkir di halaman. Kursi tempat saya nongkrong sebelumnya juga banyak orang tapi bapak MS tidak kelihatan. Semua pada bengong melihat kedatangan saya.
“Saya tadi titip tas di sini, yang itu, sekarang mau saya ambil” sambil menunjuk ke kolong.
“Oh..” jawab salah satu bapak sambil mengangkatkan tas saya.
“Thank you…”
Di atas tas terselip sobekan kertas berisikan nomer telpon dan sebuah pesan “Call me be4 you leave” MS. Nanti ya mister sebelum meninggalkan Chiang Mai pamitan dulu kesini.
Lalu saya gendong ransel dan gowes sepeda lagi. Sampai di guest house saya mengabari Monica sambil membuka bontotan sisa sarapan tadi pagi, ayam goreng. Ternyata enak. Tiba-tiba ada telpon via line.
“Gw lagi ikutan tour ntar pulangnya gw langsung ke penginapan lo ya, deket itu ama penginapan gw”
“Akhirnya nyambung juga Mon nyari lo susahnya kya nyari kutu, ya udah gw tunggu”
Kira-kira jam 4 sore selesai mandi, Monica pun datang diantar oleh guidenya. “Akhirnya gw bisa ngomong bahasa Indonesia” itu kata pertama yang terlontar darinya. Berarti bener kata mas rental sepeda jarang ada orang Indonesia di Chiang Mai.
Malamnya kami jalan-jalan ke Anusarn Market yang nyambung dengan Chiang Mai Night Bazar. Tidak beda jauh dengan pasar di Indonesia. Bagi yang doyan belanja di sini surganya barang-barangnya lumayan bagus dan harganya murah. Saya sih hanya cuci mata Monica yang shopping. Ternyata lokasinya dekat dengan Masjid tempat bapak MS.
Anusarn Market |
Jus beraneka buah 30 THB. Paling suka yang mix fruit |
Jajannya Monica bikin ngiler, tapi ga boleh makan karena mengandung dede |
Pagi harinya saya dijemput Monica di penginapan. Sekalian check out dan pindah ke penginapan dia. Hari itu kami jalan-jalan ke Doi Suthep yaitu melihat Wat Phrathat dan lanjut ke Khun Chang Kian untuk melihat bunga sakura. Wat Phrathat letaknya di luar kota Chiang Mai sekitar 15 km bisa ditempuh kendaraan bermotor 30-40 menit, dengan kondisi jalan yang berbukit persis seperti jalanan ke Puncak Bogor atau ke Cemoro Sewu Tawang Mangu. Udaranya pun sama dingin. Kami menyewa motor 100 THB/hari dengan jaminan paspornya Monica. Katanya ke Chiang Mai tidak sah kalau belum ke Wat Phrathat ini. Wat Phrathat adalah kuil budha tersuci paling terkenal di Chiang Mai. Untuk mencapai kuil ini harus mendaki 309 anak tangga. Turis asing bayar 30 THB sedangkan warga Thailand gratis.
Setelah menghabiskan waktu di Wat Phrathat kami melanjutkan perjalanan ke Doi Pui yaitu ke Khun Chang Kian. Dari Wat Phrathat masih mendaki lagi entah berapa kilo dan semakin ke atas jalanan semakin terjal, sempit dan rusak. Debunya juga banyak karena sebagian jalan masih berupa tanah. Agak ngeri memang menjangkau lokasi ini, tapi dengan kepiawaian Monica membawa motor Alhamdulillah kami sampai ke lokasi bunga sakura. Baru pertama kali lihat bunga sakura seolah tak percaya. Subhanallah indah banget sejauh mata memandang pingkyyy dimana-mana...
Subhanallah |
Pengen dibawa pulang |
Berat sekali beranjak dari tempat ini tapi semakin sore udara semakin dingin. Melihat tekstur jalanan sebelum gelap harus sampai di kota. Kami sempatkan mampir ke Chiang Mai University kampus terbesar di Chiang Mai, hanya sekedar mengobati penasaran. Kampusnya memang cukup luas dan besar. Tak lupa nyicipin makanan di kantin kampus yang harganya harga mahasiswa. Tapi saya hanya bisa makan salad dan buah karena semua mengandung dedek. Bagusnya di sana selesai makan membereskan sendiri bekas makannya dibawa ke tempat cuci piring.
Selesai makan kami melanjutkan acara shopping di Anusarn Market yang belum tuntas. Karena Monica besok harus pulang jadi puas-puasin ngabisin duit Thailand. Sedangkan saya masih stay semalem lagi dan besoknya pindah ke kota yang lain yaitu Chiang Rai. Chiang Mai memang bikin betah orangnya ramah, kotanya tidak begitu ramai, adem dan biaya hidup murah.
wning...baca blognya seru juga ..apalagi trip chiangmai..
ReplyDeleteayo next trip indocina
Hey..Mon kangen momen2 yg ini euy :)
Delete