Gara-gara keracunan artikel di majalah tentang solo
travelling “Jangan takut jalan-jalan sendiri pasti akan menemukan teman baru di
perjalanan". Saya jadi penasaran pengen uji nyali, tapi bukan ke Paris
seperti di majalah itu hanya ke negara sebelah. Karena pernah ke Singapura maka
saya pilih ke sebelahnya lagi yang masih serumpun dengan Indonesia yaitu ke
Kuala Lumpur. Sekalian pengen tau seperti apa kotanya mak cik penyanyi idola
jaman kuliah dulu, ponakan bilang namanya Iti Nungijah. Niatnya harus bisa foto
di depan Menara Petronas. Menurut kisah orang, spot yang menarik di sana hanya
itu. Dari situ saya mulai berburu tiket promo dan dapat sedikit di bawah harga
standar.
Karena first time solo
travelling saya terserang deg-deg’an hebat apalagi menjelang hari H. Beberapa
itinerary hasil nyontek di google disiapkan semua hanya dibuat lebih sederhana
tanpa mengikuti yang shopping-shopping. Yang penting tau penginapan murah,
strategis, dekat dengan monorail atau LRT. Banyak yang bilang di daerah Bukit Bintang
lalu saya catat dua nama hotel di Jalan Alor.
Ada dua airport di KL
yaitu KLIA dan LCCT (dulu belum ada KLIA 2). Pesawat saya akan mendarat di
KLIA. Dari KLIA naik bus ke KL Sentral dengan ongkos 10 RM, lebih murah
dibanding kereta. Ada beberapa bus diantaranya yang saya ingat Airport Coach
dan Aerobus. Dari KL Sentral lanjut naik monorail ke Stesen Bukit Bintang lalu
jalan kaki ke hotel sambil nanya-nanya. Alternatif terakhir kalau sudah mentok
ya naik taksi. Tapi taksi di sana harus tawar menawar udah gitu jelek-jelek.
Jadi lupakan.
Berbekal sepasang baju di
dalam ransel, berangkatlah pagi itu ke Soekarno Hatta. Naik travel dijemput di
depan kost jam 5 pagi. Alhamdulillah perjalanan cukup lancar. Sampai bandara
ngeprint tiket, check in dan ke imigrasi lalu pesawat bergambar singa merah itu
pun take off sesuai jadwal.
Dua jam berselang
mendaratlah di KLIA. Bandaranya bagus banget gede, jauh dibanding Soekarno
Hatta. Saya jalan mengikuti arus orang sambil lirik sana sini. Tiba-tiba semua
berhenti di depan pintu seperti pintu lift saya pikir mau ngapain, ternyata
harus naik train untuk ke imigrasi. Ouuw…
Di train itu saya ditanya
oleh ibu-ibu dari Jakarta yang hendak berlibur bersama suami dan dua anak
perempuannya.
“Mo kemana?”
“Bukit Bintang”
“Sama donk, udah sering
kesini ya?”
“Baru kali ini”
“Hah baru kali ini, tapi
disini ada temennya?"
"Gak ada..."
"Sengaja jalan
sendirian?"
"Iya"
Lalu ibu itu menoleh ke
anak-anaknya.
“Tuh, kamu berani ga?”
kedua anaknya hanya melihat diam tanpa senyum khas gengsi anak abege.
Tiba-tiba seisi train jadi
melihat ke saya. Jadi takut kalau ada yang berniat jahat gimana. Hiiyy... gak
lah Insya Allah...
Selesai urusan imigrasi
ibu mengajak barengan mencari bus ke kota karena satu tujuan dan sama-sama
belum tau. Kami sempat menawar travel yang menurut petugas harganya “seratus
lapan RM” dianter sampai hotel. Berarti kalau di bagi 5 orang seorang hanya 20
RM sekian. Akhirnya kami setuju naik travel walaupun sebenarnya saya pengen
mencoba naik angkutan umum. Setelah bertransaksi ternyata “seratus lapan” itu
maksudnya “180” bukan 108. Yaaahh... Kalau gitu mah mahal, kami batalkan dan
sepakat naik bus yang hanya 10RM. Asyiikk donk sesuai dengan itinerary saya.
Tak berapa lama kami
menemukan tempat bus. Ada satu bus yang siap jalan. Busnya bagus, nyaman dan
tempat duduknya lega. Saya duduk di kursi paling depan bersebelahan dengan
bapak gendut orang India. Ibu dan keluarganya duduk di belakang. Begitu duduk
dengan santainya minum dan dilihat aneh oleh sopirnya. Ternyata ada tanda
larangan makan dan minum di dalam bus. Hihi... Pantesan.
Kurang lebih 1 jam bus
mulai masuk kota Kuala Lumpur dan berhenti di pinggir jalan. Belum sampai di KL
Sentral. Banyak penumpang turun. Saya dengar ibu tanya ke pak sopir tentang
Bukit Bintang dan disuruh turun disitu katanya sudah dekat. Saya pun diajak
turun awalnya ragu tapi akhirnya manut. Ternyata ibu malah nawar taksi ke hotel
yang hanya muat berempat. Lah trus saya dimana di bagasi? Penuh kali ama
koper-kopernya.
Dari sinilah mulai timbul
masalah. Saya tidak tau itu daerah mana. Segala ingatan tentang rute buyar
semua. Tanya ke beberapa orang “Di mana stasiun monorail?” jawabannya tidak
jelas semua. Ada satu petunjuk tulisan di gedung “Pudu Sentral” sering
baca tentang itu tapi lupa tempat apa karena sebelumnya hanya mengandalkan KL
Sentral tidak mendalami yang lain.
Saya mencoba masuk ke Pudu
Sentral, menurut penjelasan petugas di sana hanya ada bus dan kereta untuk
tujuan jarak jauh.
“Kalau mau ke Bukit
Bintang naik apa pakcik?”
Semua menjawab dengan
bahasa melayu kental, dari pada capek jelasin dan gak ngerti juga, mending
berterimakasih trus pergi.
Sempet nyesel ikut ibu itu
harusnya tetap pada rencana awal. Karena diajak ngobrol serta tunggu-tungguan
sejak di bandara, jadinya lupa mampir ke bantuan kecemasan (pusat informasi)
buat minta peta. Tapi ya sudahlah semua sudah terjadi dan kini tinggallah
sendiri menjalani hari yang sepi.
Lalu saya bergerak sekedar
melangkahkan kaki daripada diledek sopir taksi karena dari awal menolak
tawarannya dan tentunya mereka tidak mau kasih tau. Sambil melangkah malah
menemukan China Town, Petaling Street, Central Market yang biasa tertulis di
itinerary orang-orang. Tadinya menghilangkan bagian ini ternyata ketemu duluan.
Karena tidak berniat shopping jadi hanya melihat sekilas dan mengambil beberapa
gambar
Langkah demi langkah
terlewati. Saya menemukan papan petunjuk ke “STESEN KERETA” lengkap dengan
tanda panah yang cukup jelas. Rasanya seperti dapet hadiah dari langit.
Dari situ juga terlihat jalan layang rel kereta. Tapi anehnya kenapa posisi
jalan layang di sebelah kanan tapi panahnya ke kiri. Kalau dipikir-pikir ya
lebih baik mengikuti petunjuk. Setelah beberapa meter ada petunjuk lagi stesen
kereta belok kiri, lalu nyebrang lampu merah lurus ada petunjuk lagi stesen
kereta belok kanan. Semakin deg-degan karena semakin menjauh dari jalan layang
dan stesen kereta belum terlihat juga. Malah semakin banyak pertokoan,
mana mungkin daerah seperti itu dilewati kereta.
Kaki mulai jemper. Saya istirahat
sejenak sambil memperhatikan ke sekeliling. Tiba-tiba baru ingat bahwa kereta
di Malaysia itu artinya MOBIL. Berarti stesen kereta artinya stasiun mobil.
Kampret!!! Hhhh...
Dulu jaman kuliah suka
sok-sok’an ngomong pake bahasa Malaysia gara-gara suka mak cik, tapi pas
dipraktekkan ditempatnya jadi lupa semua. Dasar gebl*k menyebalkan!!
Akhirnya jalan lagi tak
tentu arah. Langit saat itu gelap, banyak mendung hitam bergelayutan. Ya Allah
jangan hujan dulu sebelum dapat hotel. Setelah jalan lumayan jauh saya melihat
“Stesen LRT” kalau tidak salah namanya Stesen Pasar Seni. Alhamdulillah terima
kasih Ya Allah Engkau telah mengembalikan saya ke jalan yang benar.
Di stesen itu saya diam
sejenak belajar peta, yang tau hanya ke KLCC. Dari KLCC punya bayangan untuk ke
Bukit Bintang. Lalu saya beli tiket di mesin sambil membaca petunjuk tahap demi
tahap. Sampai tahap memasukkan uang kok ditolak terus ada apa gerangan? Dicoba
lagi tetap saja mental. Panik pun datang. Kebetulan ada bapak-bapak orang Medan
tapi sudah lama tinggal di KL. Saya diajari beliau, kenapa uang ditolak terus
rupanya kegedean. Oalah... Saya disuruh tuker di counter tiket. Nah
barulah bisa beli tiket dengan lancar sampai sampai lupa ambil kembaliannya,
lumayan 2.7 RM hiks...!!
Hanya menunggu beberapa
menit kereta datang. Banyak tempat duduk kosong. Hanya melewati 2 stasiun
sampailah di stasiun KLCC. Saya mencari jalan keluar yang cukup membingungkan
karena harus muter ke mall. Dengan segala doa akhirnya tembus juga di pelataran
Suria KLCC yang mana di atasnya bertengger dua menara kembar petronas. Saya
melambaikan tangan ke puncaknya sambil teriak sekenceng-kencengnya “Mak
Ciiikk... Aku di siniii…” tentunya hanya di dalam hati.
Tak berapa lama setelah
membaur dengan para pelancong lainnya di depan Menara Petronas tiba-tiba
gerimis datang. Semua berlari berteduh ke teras mall. Syukurlah hujan tiba
setelah saya berada di tempat yang benar. Tapi masih was-was karena belum dapat
hotel. Hujan yang tidak terlalu deres biasanya tahan lama.
Saya menghabiskan waktu
jalan-jalan di mall sambil menunggu hujan reda. Katanya mall disitu ada 2 yaitu
Mall Suria dan Mall P. Ramlee. Tapi hanya di satu tempat dan batasnya juga
tidak jelas. Isinya juga sama saja seperti mall-mall di Jakarta, Plaza Senayan
atau Taman Anggrek.
Setelah hujan mereda tapi
masih menyisakan gerimis kecil, orang-orang banyak berhamburan keluar. Saya pun
ikut menerobos gerimis. Rasanya kurang menantang kalau kembali ke jalan yang
sama waktu berangkat seperti petualangan telah berakhir (belagu bangeett). Saya
memilih jalan kaki sambil berharap menemukan hotel di dekat menara petronas.
Ternyata sepanjang jalan hanya ada perkantoran dan hotel-hotel besar sudah
pasti harganya selangit.
Lanjut melangkahkan kaki
dan ketemu dengan stasiun LRT lagi (lupa namanya). Saya masuk ke stasiun itu.
Tiba-tiba di pintu masuk ada seseorang menegur saya “Haii…!!” Yang bener
di negara orang ada yang kenal saya, mak cik kah? Apa memang saya mirip dengan
orang terkenal? Ternyata ibu yang tadi bareng dari bandara. Hanya ngobrol
sebentar dan berpisah begitu saja meneruskan tujuan masing-masing.
Lalu saya membeli tiket ke
Stesen Dang Wangi dan lanjut naik monorail dari stesen Bukit Nanas
ke Bukit Bintang. Jalan Alor tempat hotel kira-kira 700m dari
stasiun. Ternyata hotel yang satunya (yang lebih murah) sedang renovasi,
terpaksa check in di seberangnya. Resepsionisnya baik sekali tapi ada
bapak-bapak chinese yang ikutan nimbrung. Mendengar saya dari Indonesia dengan
santainya bilang "Oo... Orang indon" **sialan, paling kesel dibilang
indon apa susahnya bilang Indonesia. Males jawabnya. Eh nanya lagi...
"Apa nama? Hallooo...
Apa nama?"
"Apa nama? Dari mana
maksudnya?" pura-pura ketus padahal pengen ketawa sambil nahan pipis.
"Iye, dari mane?
"Jakarta"
Info dari mahasiswa Indonesia di Malaysia kalau bilang dari lndonesia katanya sih dipandang rendah, makanya bilang dari Jakarta.
Sore itu saya jalan-jalan di sekitar Bukit Bintang yang kebanyakan isinya mall. Tidak ada minat untuk masuk, lebih suka lihat yang di pinggir jalan. Kesannya biasa aja tidak ada sesuatu yang bikin WOW.
Jam 5 sore saya kembali ke hotel untuk mandi dan sholat maghrib. Sejam kemudian siap pakai mukena sambil menunggu adzan di TV. Eh melihat ke luar jendela kok masih terang benderang matahari masih mencorong. Lhaa...!! Saya turun ke resepsionis tanya jadwal sholat. Katanya maghrip jam "Tujuh Setengah". Masih satu setengah jam lagi. Baru ingat jam di Malaysia kan 1 jam lebih cepat. Haisshhh... Bingung juga letak Indonesia lebih timur seharusnya lebih duluan kenapa malah Malaysia lebih cepat. Terserah.
Malam itu di Kuala lumpur
banyak acara pesta menyambut hari kemerdekaan Malaysia. Pusat perayaan diadakan
di 3 tempat yaitu di China Town, Little India dan satunya lagi lupa yang pasti
bukan di Menara Petronas seperti tahun-tahun sebelumnya. Saya tidak datang ke
salah satu tempat tersebut karena males hujan dan capek. Lebih baik nonton
siaran live di TV.
Soal makanan, di depan
hotel sepanjang jalan alor sejak maghrib penuh dengan penjual makanan. Dari
Chinnese food, India, Thailand, Melayu bahkan lndonesia. Tapi saat itu
pengennya makanan yang tidak ada yaitu bakso. Tiba-tiba terlintas bakso di
dekat kost berakibat semua makanan disitu tidak mengundang selera.
Saya masuk ke minimarket membeli roti, biskuit, buah dan sotfdrink. Esok
paginya tidak bingung lagi karena ada fasilitas breakfast dari hotel walaupun
rasanya gambreng semua.
Selesai sarapan saya check
out dan mulai mengeksplore Kuala Lumpur. Pertama ke KLCC lagi karena belum
sempat berfoto di depan Menara Petronas. Buat bukti pernah ke Malaysia bok.
Puncak menara kelihatan dari hotel. Saya jalan kaki mencari jalan yang mengarah
kesana. Entah berapa kilo akhirnya sampai juga. Belum banyak orang di bawahnya.
Saya duduk sejenak melihat tingkah polah orang-orang yang sedang berfoto.
Kebanyakan berombongan. Tapi ada satu mbak-mbak yang hanya sibuk memfoto gedung
sepertinya pergi sendirian. Baru juga kepikiran deketin mbak itu eh mbaknya
deketin duluan.
"Can you help me..." sambil menyodorkan kamera.
"Oh... Sure, where
are you from?"
"Indonesia"
"Wah sama, mbak dari
mana?
"Bandung, tapi lama
di Surabaya"
"Berarti iso jowo
mbak"
"Iso..."
Beliau bernama mbak Any
lagi punya urusan kerja di KL. Akhirnya ketemu juga teman baru diperjalanan.
Bener kan kata di majalah itu, tidak usah takut solotraveling. Bisa
cekikikan sambil baca tulisan di pinggir jalan yang lucu-lucu "Awasi
Penyeluk Saku, Balai Polis Bergerak, Pusat Beli Belah (kalau gak beli di
belah)". Seandainya ketemu dari kemaren, bisa langsung tertawa lepas tidak
ditahan sendiri. Sekedar saran buat yang pertama kali ke Malaysia bawalah teman
biar gak senyum-senyum sendiri kya saya.
Naik angkutan umum boleh ya memangnya?
ReplyDelete