Oct 27, 2018

Antara Fethiye Dan Sergiev Posad

Dihari blogger nasional tanggal 27 Oktober ini setidaknya pengen ngepost 1 judul cerita. Sayangnya lagi mampet gak ada yang mengalir. Karena gak rela kalau hari ini dilewatkan begitu saja maka saya akan menumpahkan sedikit kenangan yang masih tersimpan di jidat yang jika diingat serasa ingin kembali mengulang ke masa itu. Biasalah saat-saat pencitraan di negeri sebrang, di pinggiran 2 kota yang menyimpan kerinduan teramat dalam. Halah sok melankolis. Pokoknya mah yang penting nulis biar hari ini punya peninggalan prasasti.

Judulnya mengenang 2 kota yang tidak ada hubungannya. Pertama saya merindukan Fethiye adalah kota kecil di Propinsi Mugla Turki yang bisa ditempuh menggunakan bus dari Istanbul selama 12 jam atau pesawat selama 50 menit. Disinilah saya merasakan realitas orang Turki. Penduduk lokal sangat ramah, helpfull dan menghargai orang asing. Di sepanjang jalan, di toko dan supermarket saya sering jadi pusat perhatian selayaknya selebritis lewat. Biasanya saya yang gak kedip lihat orang cakep. Kali ini saya yang diliatin orang-orang cakep. Kalau di negeri sendiri mah boro-boro, demit aja buang muka. Banyak kesempatan buat kenal lebih dekat dengan warga lokal namun sayangnya terkendala oleh bahasa.

Kedua saya merindukan suasana di Sergiev Posad. Kota kecil yang berjarak sekitar 74 km dari Moskow Rusia. Bisa ditempuh menggunakan kereta selama 1,5 jam. Disini saya juga merasa asing dan disambut hangat oleh penduduk lokal walaupun terkendala bahasa. Banyak yang menyapa dengan senyum ramah seperti tertarik pengen ngobrol. Kalau di Turki karena mayoritas penduduknya muslim, sering memulai dengan sapaan "Assalamu'alaikum" sedangkan di Rusia dengan "Ksndvfhfbvdhajskhg (bahasa Rusia) yang artinya mungkin "Hallo, Hai, Where are you from atau sejenisnya. Penduduk di Rusia mayoritas beragama kristen ortodoks.


 Sergiev Posad merupakan rumah bagi Lavra Trinitas dari Santo Sergius, biara ortodoks tingkat tinggi dan paling penting di Rusia. Sebagian besar orang Rusia melakukan perjalanan spiritual ke gereja ini.

Ada hal yang mengingatkan saya ke kampung halaman saat di Fethiye. Siang itu saya bersepeda keliling kampung. Ada anak kecil pulang sekolah dijemput oleh ibunya. Pakaiannya sederhana sekali sama seperti orang-orang di kampung saya. Pulang jalan kaki ke rumahnya yang sangat kecil dan terbuat dari papan. Di tengah jalan sang ibu memetik buah murbei yang berwarna hitam untuk anaknya. Sama seperti saya dan teman-teman kala kecil, cemilan dari alam selalu menggantikan cemilan buatan pabrik yang tak pernah dibelikan oleh orang tua. Sepanjang jalan di Fethiye banyak tumbuh pohon murbei.

Menuju kedua kota ini sama-sama penuh perjuangan. Terutama masalah roaming bahasa. Saat ke Fethiye dari Pamukkale saya dan Amel naik bus yang ternyata standar ekonomi kelas bawah. Setiap saat setiap waktu mencari penumpang tambahan di tiap kota. Sama seperti bus dari Solo ke Pacitan. Seharusnya ada bus yang pelayanannya lebih bagus. Tidak banyak berhenti, dapat snack dan tempat duduknya lebih nyaman. Ya maklumlah asal pilih, masih mending obrolan bisa nyambung dengan penjual tiket. Sopirnya mas-mas gagah, ganteng perpaduan antara David Beckham dan Ronan Keating. Sering banget ngajak ngobrol tapi sama sekali gak ngerti karena pakai bahasa Turki tulen tidak ada Inggrisnya sedikitpun. Setiap kali bus berhenti, mendatangi tempat duduk saya tanya sesuatu dan saya hanya bisa menjawab sorry sambil geleng-geleng. Sesekali mengangguk "Betul mas saya masih jomblo". 

Ke Sergiev Posad saya pergi bersama mbak Anna Khristy. Perjuangan dimulai sejak dari Moscow di Stasiun Yaroslavsky. Stasiunnya luas, loketnya banyak dan tidak ada huruf latin sama sekali. Semua petunjuk ditulis dengan huruf cyrillic. Awalnya berniat mengcapture menggunakan google translate sambil menyamakan bentuk tulisan. Tapi saking luas dan pusingnya jadi menyerah. Beberapa kali tanya ke petugas tidak membuahkan hasil. Lalu memberanikan diri tanya ke mas-mas yang sedang mengantri di salah satu loket "Excusme, Sergiev Posad?" sambil pura-pura ikut antri di belakangnya. Masnya ngobrol dengan temannya lalu temannya menyuruhnya mengantar kami ke loket yang benar. Tampaknya mereka tau betul ditunjukkan sedemikian rupa pun gak bakal ngerti.

Letak loket lumayan jauh di ruang sebelah melewati beberapa loket yang lain. Kami membeli tiket pulang pergi. Tak lupa tanya ke ibu petugas, "Bu apa tiket pulangnya bisa dipakai jam berapapun?" Ibu mengangguk sebentar lalu sibuk mentutak-atik hpnya. Kami menunggu dengan sabar sambil melirik ke antrian memanjang di belakang memberi kode minta maaf gara-gara kami jadi makin lama. Mereka pun tersenyum ramah. Rupanya ibu petugas mentranslate ke bahasa Inggris yang artinya tiketnya fleksibel bisa dipakai jam berapa saja pada hari ini. Spasibo ibu... (Terimakasih).

Tiket Kereta

Setelah mendapatkan tiket, mencari parkiran kereta juga membingungkan. Ada 8 jalur dan tulisannya keriting semua. Karena Sergiev Posad bukan tujuan terakhir jadi tidak tertulis di papan pengumuman. Kami naik ke salah satu kereta berdasarkan feeling kira-kira dan nguping ke sebelah. Keretanya sama persis seperti di Indonesia saat pedagang asongan masih diperbolehkan masuk. Mulai dari jualan payung, pulpen, bedak, es krim, buah, chiki, permen, buku mewarnai dan masih banyak lagi. Ada pula sekelompok pengamen yang membawa gitar atau biola. Pemandangan di luar kereta tampak ladang dan rumah kecil-kecil terbuat dari kayu dengan pintu yang sangat pendek. Seperti rumah-rumah di film kartun Masha and the Bear. Lebih kecil dari rumah sederhana di Indonesia.


Penjaga toko di dekat stasiun Sergiev Posad. Saat saya datang hanya mbak dan bapak paling pinggir yang ada. Tiba-tiba bapak memanggil temannya yang di tengah sambil senyum-senyum meledek dari bahasa tubuhnya seperti mengatakan begini "Hei Paimin ada yang nyari kamu tuh" Lalu saya dan masnya saling berpandangan bengong. Mbak Anna Khristy ikutan nyeletuk dari belakang "Dia mau jodohin kamu tuh..." Oooh boleh deh.

Di luar pintu stasiun Sergiev Posad berjajar 3 lansia berjualan jamur. Kata nenek yang paling kiri sambil menunjukkan angka di kalkulator, harganya 100 rubel. Seplastik lumayan besar. Saya pengen beli untuk campuran indomie rebus tapi terlalu banyak. Coba mengetik 50 dan beliau semua menggeleng dengan raut muka berubah seketika dikira menawar. Kalau dirupiahkan hanya 40 ribu itu murah banget dibanding di Jakarta, masak mau ditawar. "Saya beli 50 aja nek terserah dikasih seberapa?" sambil menggerakkan tangan menjelaskan sebisa mungkin dengan bahasa yang saya bisa. Mulai dari Inggris, Jawa, Sunda dan Indonesia, semua tidak berhasil. Sumpah kali ini susah banget. Sampai garuk-garuk kepala, gigitin bibir dan motekin kuku sampai berdarah semua tidak berhasil menerjemahkan bahasa Tarzan.

Selain memang pengen, kasian juga kalau tidak dibeli. Sudah jam 7 malem di udara bersuhu minus 5, dagangannya masih banyak dan jarang orang yang menghampiri. Disaat akan menyerah nenek yang berada di tengah yang dari awal lebih kalem tiba-tiba meluluh. Beliau mengangguk dan ngomong bahasa Rusia sambil menggantungkan seplastik jamur di timbangan manual di tangan. Kata beliau begini "Lihat nih 1/4 kilo ya neng baiklah gak apa-apa 50 rubel aja" sambil tersenyum baik banget. Segera saya bayar 50 rubel lalu saya kembalikan lagi sebagian jamurnya ke baskom nenek "Maksudnya segini nek, separo aja..." Saya angkat tinggi-tinggi plastiknya saking terasa lega MAK PLONG. Beliau bertiga keheranan, tatapan matanya mengatakan "Oalaaah beli separo toh neeng..." 

Akhirnyaaaa si neng bisa masak jamur enak sepuasnya. Pagi-pagi duduk di deket jendela apartement memandang tetesan air campur es sambil nyeruput kuah indomie anget-anget rasa micin. Sungguh istimewa.

Yang anget yang anget... Indomie plus plus

No comments:

Post a Comment

Comment tapi jangan spamming yess!! Salam hormat High Quality Gembel.