Setelah mandi, sholat
dan istirahat, jam setengah 3 sore saya berangkat ke White Temple (Wat Rong Khun) adalah salah
satu kuil Budha paling terkenal di Chiang Rai. Letaknya jauh di luar kota Chiang
Rai kira-kira 1 jam menggunakan kendaraan bermotor. Jika naik songthew ongkosnya lumayan mahal antara 500-600 THB, tapi saran dari teman bisa naik bus umum dari terminal 1 hanya dengan
20 THB.
Saya jalan kaki ke
terminal yang letaknya 500 meter dari penginapan. Sampai di terminal mencari
bus umum yang berpenampakan jelek-jelek dan tulisannya keriting semua. Lhadhalah…
yang mana? Saya disuruh naik ke salah satu bus oleh ibu-ibu kondektur. Busnya ngetem dulu sekitar 45
menit. Jadi deg-degan khawatir kesorean karena bus terakhir balik ke Chiang Rai
jam 5 sore. Jalannya juga lelet banget masih sambil nyeser-nyeser nyari penumpang. Persis kya bus umum di Indonesia kondekturnya menggantung di pintu sambil teriak-teriak.
Sekitar 1 jam
perjalanan, di sebuah perempatan ibu kondektur memanggil saya “White
Temple... White Temple…”. Ibu itu mengantarkan saya turun dan menunjukkan arah
ke White Temple dengan bahasa isyarat. White Temple tidak berada di pinggir
jalan raya tapi masuk ke dalam sekitar 200 meter. Jam menunjukkan pukul 16.30
waktu setempat, artinya saya hanya punya waktu setengah jam disana dan
harus balik lagi untuk mengejar bus terakhir. Rasanya tidak rela kalau harus buang duit 600 THB. Saya jalan cepat setengah lari lalu mengambil gambar jeprat jepret sekenanya. Untunglah masih sempat
berfoto narsis di depannya.
Di depan White Temple |
Jam 16.55 saya lari
ke pinggir jalan. Suasananya sepi sekali tidak ada orang satu pun. "Benarkah nunggu busnya disini? Ya
Allah help me". Saya duduk di halte sampai jam 17.15 belum ada bus yang lewat. Hari semakin gelap, saya semakin deg-degan. Kalau terpaksa berarti harus merelakan 600 THB.
Suasana di halte, semakin gelap semakin ngenes |
Tiba-tiba ada sepasang
bule sudah agak tua dari England, katanya mau ke Chiang Rai juga. Namanya
Brenda dan Bryan. Kami duduk bertiga di halte sama-sama berharap masih bisa terangkut oleh bus yang terakhir.
Jam 17.30 belum juga ada bus yang lewat. Syukurlah ada sebuah songthew berhenti di depan halte “Chiang Rai.. Chiang Rai...” teriak pak sopir. Brenda menggandeng tangan saya untuk naik ke angkot khas Thailand itu. Di dalamnya ada sekeluarga bule England bapak, ibu, anak bersama guidenya mbak-mbak
cantik orang Thailand. Sepertinya songthew itu telah di sewa oleh mereka, tapi
kami diperbolehkan bergabung. Kami ngobrol sepanjang jalan saya kadang nyambung
kadang plonga plongo, mereka bahasa Inggrisnya licin-licin banget, pastinya donk
orang Inggris semua.
Sampai di Chiang Rai songthew mengantarkan bule England sekeluarga ke guest housenya, lalu mengantarkan saya. Sebelum turun saya berpamitan dengan Brenda dan Bryan, tak lupa membayar ke pak sopir. Tadinya diminta 200 THB dikira buat bertiga karena sendiri hanya diminta 60 THB. Masih murah lah karena diantar sampai penginapan. Brenda teriak dari dalam songthew “How much?” “60 bath”. Songthew beranjak pergi dan saya masuk ke halaman guest house.
Saya duduk di teras mencari sinyal wifi, mengaktifkan hp barang kali ada kabar cinta. Tiba-tiba ada suara memanggil...
“Hello…” Brenda dan Bryan menyusul saya.
“Kamu
tadi bayarnya kelebihan seharusnya hanya 20 bath, sopir songthewnya memang meminta lebih tapi biar kami saja yang bayar, dan ini
uang kamu” kata Brenda sambil menyodorkan uang 40 THB.
“Ohh... Thank you so much…” kaget keheranan dan hanya itu yang bisa terucap.
“Bye bye…”
Subhanallah… baik banget… 40 THB memang tidak seberapa sekitar 16 ribu rupiah. Tapi niat banget sampai nyari saya ke penginapan.
Setelah maghrib saya keluar ke Night Bazaar sambil berdoa semoga ketemu lagi dengan Brenda dan Bryan. Chiang Rai hanya kota kecil, hiburan dimalam hari yang paling popular hanyalah itu. Tapi sudah muter kesana kemari keliling pasar belum juga bertemu mereka. Cari ke beberapa restoran tidak ada.
Setelah maghrib saya keluar ke Night Bazaar sambil berdoa semoga ketemu lagi dengan Brenda dan Bryan. Chiang Rai hanya kota kecil, hiburan dimalam hari yang paling popular hanyalah itu. Tapi sudah muter kesana kemari keliling pasar belum juga bertemu mereka. Cari ke beberapa restoran tidak ada.
“Where are you Brenda?”
Udara semakin dingin rasanya ingin menyerah dan pulang ke guest house. Tapi berpikir lagi, orang seperti mereka tidak akan makan di restoran
pastinya di tempat yang lebih merakyat. AHAA… Di sebelah ada banyak kursi di tanah lapang yang dikelilingi oleh tenda makanan. Di depannya ada panggung tempat tari-tarian
tradisional. Saya coba cari disana, kalau tidak ketemu juga ya berarti anda tidak beruntung.
Benar saja saya melihat ibu-ibu memesan bir, dari belakang kelihatannya seperti Brenda. Karena tidak yakin saya tidak berani memanggil dan hanya mengikutinya dari belakang. Sampai di tempat duduknya Bryan memanggil saya.
Benar saja saya melihat ibu-ibu memesan bir, dari belakang kelihatannya seperti Brenda. Karena tidak yakin saya tidak berani memanggil dan hanya mengikutinya dari belakang. Sampai di tempat duduknya Bryan memanggil saya.
“Hello…”
“Haaa… Akhirnya ketemu lagi”
“Hayo duduk”
"Okay. Thank you!!"
Dan malam itu saya menghabiskan waktu bersama mereka. Biarpun baru kenal tapi rasanya seperti bertemu orang tua saya. Begitulah pertemuan sesaat kadang lebih bermakna.
Dan malam itu saya menghabiskan waktu bersama mereka. Biarpun baru kenal tapi rasanya seperti bertemu orang tua saya. Begitulah pertemuan sesaat kadang lebih bermakna.
Always miss them |
ternyata masih ada juga orang sebaik itu ya ..
ReplyDelete