Jun 13, 2015

Mabok Massal ke Anak Krakatau

Jam 11 malam saat mata sedang lengket-lengketnya kami janjian di Alfamidi depan komplek. Saya, Mbak Pipit, Mas Dodi dan Huda. Agar tak membebani pundak, tas ransel dan segepok perbekalan kami letakkan berdekatan di teras Alfamidi, karena masih menunggu rombongan yang lain. Beberapa saat kemudian berhentilah sebuah angkot warna merah di seberang jalan. 

"Hey hayuuk...!!" panggil Bulek Tati sang Bos dari balik angkot. 
"Siapa mbak, saya?"
"Halah lu, cepetan"

Kami menyeberang jalan sambil menenteng segala perbekalan dan naik ke taksi rakyat jelata itu.  Di dalam ada Mbak Dian dan Bang Zul yang menebar senyum di bawah temaram lampu. Angkot pun membawa kami sampai di pelabuhan merak. Suasana di pelabuhan penuh dengan manusia yang menggendong ransel yang hendak merayakan hari ulang tahun Indonesia di beberapa daerah di Lampung.

Salah satu dari rombongan kami, Mas Dodi mengambil posisi ke barisan panjang yang mengarah ke sebuah loket demi semua rombongan agar bisa memegang kartu sakti sebagai syarat masuk ke kapal. Setelah dipersilahkan masuk kami memilih ruang VIP agar bisa melepas lelah. Ternyata penuh seperti tempat pengungsian oleh traveler yang lesehan di seluruh ruangan. Membaurlah kami di lapak yang masih tersisa. 

Tak berapa lama kapal membunyikan peluit panjang dan bergerak meninggalkan Pelabuhan Merak. Bekal camilan mulai dikeluarkan satu persatu dari kresek penyimpanan. Canda tawa dan tebak-tebakan dilontarkan selama perjalanan, sampai tak terasa kapal telah berlabuh di Pelabuhan Bakauheni. Itu teman-teman ya, saya mah tidur tau tau nyampe hihihi...

Setelah sholat subuh di Pelabuhan Bakauheni kami mencari angkot untuk disewa ke Dermaga Canti yaitu tempat dimana kami akan dijemput oleh kapal kayu yang akan mengeksplor ke kawasan anak krakatau. Kebetulan bertemu dengan rombongan dari Medan 5 orang yang bersedia bergabung dengan kami ber-7 sehingga pas satu angkot dan ongkosnya jadi lebih murah. Lalu angkot membawa kami menyusuri jalanan di Lampung yang naik turun dan berkelok kelok selama 1.5 jam

Sebelum bertemu dengan rombongan yang lain kami melakukan ritual makan pagi di warung dekat dermaga. Gorengan bakwan dan tempe yang masih hangat membantu mengembalikan konsentrasi setelah perjalanan jauh dari Cilegon. Di warung ini pun tersedia beberapa kamar mandi tapi berhubung kesabaran mengantri sedang menurun saya lebih memilih terima apa adanya. Bilang aja males.

Selesai ritual, rombongan belum terkumpul semua. Kami menyempatkan berfoto di pinggir pantai berpose dengan pisang dan pete bertumpuk-tumpuk hasil panen warga di pulau seberang di sekitaran selat sunda. 

"Kalau mau makan ambil aja neng" kata abang yang mengangkut makanan berbau wangi itu. 
"Waduh makasih bang, kasian teman sekamar nanti". 

Matahari semakin meninggi dan udara mulai membuat berkeringat akhirnya seluruh rombongan terkumpul, total jadi 45 orang (kalau ga salah). Sejenak sang EO memberikan briefing juga perkenalan dengan seluruh rombongan. Lalu jam 9.30 kami dipersilahkan masuk ke kapal kayu berwarna hijau berkapasitas 50 orang, bersuara berisik dan berbau solar.

Begitu kapal bergerak perut saya mulai bergolak, kepala berputar-putar seperti naik kora-kora di dufan. Suara berisik dari mesin kapal, bau solar menyengat, pemandangan ombak bergulung-gulung serta goncangan kapal yang tiada henti adalah kombinasi yang sangat bagus untuk menyiksa diri. Sering kali harus menarik nafas panjang sambil menelan saliva yang terasa asin yang terus menerus merangsang perut untuk mengeluarkan sesuatu. Omaigat kemana harga diri ini kalau sampai terjadi peristiwa seperti (maaf) wanita yang sedang hamil. Gelar wonder women pasti luntur dengan seketika.

Saya maju ke depan ke ruang kemudi mencari pelipur lara. Rupanya keduluan mbak-mbak yang bernasib sama telah tergolek di kursi samping pak nahkoda. Matanya tertutup rapat, hidung dan mulutnya ditutup jaket, tapi dengan kesadaran penuh alias hanya pura-pura tidur. Terpaksa saya duduk di pintu menghadap ke depan agar bisa melihat ombak begulung-gulung yang diterjang kapal. Perasaan lamaaaa.... banget ga nyampe-nyampe. Biarpun terasa jalan tapi kapal seakan diam di tempat.  

Saya naik ke atas deck untuk mengalihkan perhatian, ikut foto selfie. Wajah ceria senyum lebar tapi semua palsu. Perut saya bener-bener ga bisa kompromi. Kalau diturutin entahlah sudah berapa kali beraksi. Akhirnya setelah daya kekuatan tinggal seperempat merapatlah kapal di Pulau Sebesi tempat rombongan kami akan menginap.

Saya gendong ransel dan antri turun dari kapal. Begitu menginjakkan kaki ke tanah, bumi rasanya bergoyang, berputar sampai terbalik. Yang goyang buminya, kapalnya atau saya sih?? Kepala seperti dipukuli pakai palu, badan ga seimbang dan kaki tiba-tiba lemes ga bisa menahan beban. Saya bersimpuh di atas bebatuan dan bom yang siap meledak dari dalam perut akhirnya tak bisa dipertahankan... #hooeekk.... *setengah mati boo...

Beberapa tangan memijat leher belakang saya dan menyodorkan tolak ang*n. Dengan sisa tenaga saya sobek bungkusan warna kuning berisi cairan rasa mint. Tenggorokan sedikit kinclong apalagi ditambah air putih yang entah disodorkan oleh siapa. Setelah menunggu beberapa saat mata saya bisa melek dengan sempurna dan bumi ga bergoyang lagi. Melihat ke sekitar rupanya semua mata memandang ke saya. Duuh...

"Gimana udah enakan?"
"Ga pa-pa cuma acting kok"
"Wueeeekkk..."

Kami dijamu makan siang di pinggir pantai di dekat dermaga pulau sebesi. Sayur asem, ikan goreng dan telor dadar membangkitkan semangat setelah satu setengah jam melawan perasaan amburadul di atas laut. Selesai makan siang, kami diantar menuju ke homestay. Beberapa rumah warga disewa untuk penginapan kami, tentunya laki-laki dan perempuan dipisahkan. Listrik di Pulau Sebesi hanya menyala dari jam 18.00 hingga 24.00 sehingga terik pada siang itu tidak bisa dinetralkan dengan kipas angin maupun AC.

Setelah cukup istirahat gegoleran di lantai, acara sore itu adalah snorkeling di Pulau Umang-umang. Berbekal peralatan snorkel dan kamera tentunya ga boleh ketinggalan kami kembali ke dermaga sebesi lalu naik kapal lagi. Kenangan beberapa jam sebelumnya rasanya belum beranjak dari pelupuk mata. Tapi kali ini masih terkendali karena naik kapalnya hanya sebentar, Pulau Umang-umang ga seberapa jauh dari Pulau Sebesi.

Hamparan pasir putih yang lembut seperti bedak serta beraneka terumbu karang yang dikelilingi berbagai ikan warna warni menyambut kami. Subhanallah indahnya ciptaanMu.

Terumbu karang di Pulau Umang-umang
Tiduran di pasir putih nan lembut

Puas menikmati sajian alam yang memukau, kami kembali menaiki kapal dan kembali ke Pulau Sebesi. Malam itu di dekat homestay didirikan panggung hiburan untuk menyambut hari kemerdekaan Indonesia. Lagu dangdut dan joget-jogetan berlangsung hingga tengah malam. Tapi itu katanya teman-teman, saya ketiduran sampai dibangunkan makan malam pun tidak merespon. Mungkin saya lelah....

Keesokan harinya jam 3 pagi kami dibangunkan untuk bersiap-siap menuju ke anak krakatau. Dengan penerangan seadanya senter dan juga sorot Hp karena masa nyala listrik telah habis, kami menyiapkan barang seperlunya sambil mengumpulkan segenap nyawa. Setelah seluruh rombongan berkumpul kami bersama-sama menuju ke dermaga dan menaiki kapal.

Jam 03.30 kapal mulai beranjak dari dermaga Pulau Sebesi. Ombak dan angin dipagi itu lumayan membuat jantung berdecak lebih kenceng. Goncangan kapal membuat semua penumpang tak mau berjauhan dari pelampung. Air beberapa kali masuk ke dalam kapal dan mesin kapal terdengar tersendat-sendat dan sesekali mati. Saya dan teman-teman hanya bisa pasrah sambil komat-kamit berdoa tiada hentinya. 

EO kami menghimbau agar kami tidak membiarkan perut berlama-lama kosong, sehingga nasi uduk dan telor di dalam kotak segera dibagikan. Makan nasi uduk dipagi buta dengan kondisi mata setengah ngantuk tapi ga bisa tidur, kepala pusing amburadul dan perut bergolak, membutuhkan perjuangan yang sangat berat untuk menelan. Ditambah dengan aroma solar yang mengalahkan aroma harum nasi uduk dan telor, semakin ditelan semakin ingin dikeluarkan lagi.

Kapal sama sekali tidak bisa diam. Goncangan ke kanan kiri dan naik turun membuat kepala berputar dan perut teraduk. Saya merebahkan diri di sela-sela yang masih muat buat kepala. Begitu juga teman-teman yang lain. Kami semua tergolek tanpa peduli apa yang ada di dekat kepala. Ada punggung, pantat, kaki, kardus bekas nasi ga dipedulikan karena tak mampu duduk lagi. Terdengar beberapa kali suara mengeluarkan isi perut bersahut-sahutan dari berbagai sudut. Bau khas minyak angin bertebaran dimana-mana.

Setelah tiga jam terombang-ambing melawan ombak, kapal kami merapat di sebuah pulau dimana anak gunung krakatau bertengger di tengahnya. Kapal tidak bisa merapat ke pinggir sehingga kami terpaksa turun berbasah-basahan kaki. Begitu menginjak ke tanah bumi bergoyang dengan hebatnya. Bom dari perut siap meledak saat itu juga. Saya segera mencari semak-semak rerumputan dan jegeeeerrrrr.... Semua isi perut terkuras habis tiada sisa. Begitu juga dengan teman-teman yang lain. Pagi itu diawali dengan mabok massal. Luaaar binasaa... Ga kebayang gimana nanti pulangnyaa...

Setelah keadaan aman terkendali badan mulai seimbang, lalu dilanjutkan mendaki ke anak krakatau. Mendaki yang tidak seberapa hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Gunung ini terlihat gundul dan berpasir. Pohon-pohon hanya tumbuh di kaki gunungnya. Pendakian hanya diperbolehkan sampai setengahnya saja. Zona yang lebih tinggi dari itu tidak boleh dilewati karena berbahaya.

Sampai di zona yang dituju kami mengadakan upacara kecil-kecilan mengibarkan bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya untuk merayakan hari ulang tahun Indonesia yang ke-69.
Mengabadikan gambar bersama seluruh rombongan. Ada satu warga asing yang menamakan dirinya Tejo (celana kotak-kotak paling depan). Foto seperti ini harus antri karena banyak rombongan lain yang berdatangan dari berbagai daerah untuk melakukan hal yang sama.


Dari anak krakatau kami akan melanjutkan snorkeling ke Legon Cabe, sekitar 20 menit naik kapal. Setelah turun dari krakatau kepala saya mulai pusing membayangkan harus naik kapal lagi. Sebungkus wafer dan biskuit tidak juga bisa melipur lara. Ombak di sekitar anak krakatau luar biasa bergulung-gulung. Kapal yang membawa kami oleng kesana kemari tapi syukurlah pak nahkoda sangat lihai mengendalikannya.

Tak berapa lama kapal berhenti di dekat tebing. Mesin dimatikan dan kapal dibiarkan terombang ambing. Beberapa teman yang ahli berenang langsung menceburkan diri ke laut beberapa harus memakai onderdil snorkel lengkap baru ikutan nyemplung. Tadinya saya tidak akan turun tapi diam di kapal justru semakin pusing  dan mual. Akhirnya ikut membaur di laut walaupun tidak bisa berenang.

Snorkeling di Legon Cabe

Lima belas menit berada di laut dan beberapa kali menelan air asin, perut saya terasa mual lagi. Saya bingung kalau sampai muntah diantara teman-teman yang mengambang apa jadinya? Lalu saya naik ke kapal dari sisi kanan melewati tangga bermaksud mencari obat-obatan. Tiba-tiba sampai di atas tangga bom dari perut tak bisa ditahan lagi. #Hoooeeeekk.... Teman-teman di bawah tentu saja kaget semua dan teriak sambil berusaha menjauh. "Mbaaakk... Jangan muntah disitu..." Tapi apa daya saya tidak bisa mengendalikannya lagi. 

Setelah sedikit enakan saya melanjutkan niat naik ke kapal. Tiba-tiba terasa mual yang lebih dahsyat dari sebelumnya dan tak tertahankan. Saya melongok ke jendela kapal sebelah kiri tempat saya berenang sebelumnya. Banyak teman-teman yang masih berada disana. Saya bingung dimana harus meledakkan bom yang lebih dahsyat ini, semua sisi kapal dan di dalamnya penuh dengan orang. Letak toilet terlalu jauh untuk dijangkau dengan bom yang sudah siap ditenggorokan. Akhirnya pecah juga dari jendela sebelah kiri... Pyuuurrr...!!! Seketika berhamburan ke laut. Teman-teman yang sedang asyik jadi terusik namun tak banyak yang bisa dilakukan. 

"Woooee... Jangan muntah di situuu...." 

Maaf pren maaf. Isi perut sampai habis tapi masih mungkak mungkuk lemes ga ada yang bisa dikeluarkan. Saya kehabisan tenaga dan bersandar di jendela. Tapi eh tapi kok jadi banyak ikan berdatangan ya berebut sesuatu berwarna coklat yang berasal dari perut saya. Hihihi....

Teman-teman di dalam kapal memijit leher dan punggung saya sambil menyodorkan obat, entahlah obat apa. Setelah minum obat saya tergolek tidur di lantai kapal dan tidak tau lagi apa yang terjadi. Saya dibangunkan setelah sampai di Pulau Sebesi. Baju sampai kering dengan sendirinya. Beginilah enaknya pergi bareng orang farmasi, gangguan sedikit langsung dikasih obat. Cihuuyy...

Setelah beres-beres ke homestay dan makan siang, kami siap-siap kembali ke dermaga canti dan mengakhiri liburan yang memabukkan itu. Perjuangan naik kapal belum juga usai. Masih harus melaut 1.5 jam lagi. Alhamdulillah sampai di dermaga canti hanya pusing sedikit tidak sampai tumpah. Lalu kami naik angkot yang kami sewa sebelumnya, kali ini terpaksa ditumpuk-tumpuk karena ada 5 teman yang tidak kebagian angkot. Sepanjang jalan badan susah bergerak, kaki kesemutan, ketindihan sana-sini tapi semua itu tidak mengurangi keseruan kami sampai ke pelabuhan bakauheni.

Perjalanan dilanjutkan lagi dengan naik kapal roro Bakauheni - Merak, seperti biasa saya tidur disepanjang perjalanan apalagi kali ini seharian tenaga telah dikuras untuk mengeluarkan bom. Tentunya makin mendalami mimpi di alamnya. Kapal kami sempat berhenti di tengah laut karena antri dermaga sehingga sampai di pelabuhan merak terlambat sampai 2 jam. Jam 24.00 akhirnya selesai juga kisah kelautan pada hari itu. Perjalanan ke anak krakatau begitu mengesankan bagi saya sekaligus bikin kapok untuk naik kapal kayu lagi, ampun deh.

2 comments:

  1. ueeeeek....kalo inget snorkling kasih makan ikan...ternyata aku ditengah2 muntahan elu..wkwkwkwkwk.................

    ReplyDelete

Comment tapi jangan spamming yess!! Salam hormat High Quality Gembel.